Menuju Organisasi dan Kepemimpinan AGILE
Di era VUCA dan digitalisasi organisasi dituntut untuk lebih cepat merespon, kolaboratif, fleksibel serta adaptif terhadap perubahan lingkungan. Organisasi yang hirarkis akan kehilangan momentum bisnis dan kalah bersaing. Organisasi yang birokratis akan tergerus oleh start up dan pemain baru yang lincah. Jika anda tidak ingin ketinggalan maka Organisasi dan pimpinan anda perlu bertransformasi menjadi AGILE!
Organisasi yang AGILE mengerti pasar, membuat keputusan dan menelurkan produk baru dengan cepat, mengalokasikan sumberdaya dengan tepat dan kuat dalam menjaga team bonding ketika harus bekerja dalam kondisi tekanan dan perubahan. Banyak organisasi yang besar dan menjadi penguasa pasar, pelahan tapi pasti mereka bisa melemah karena kebesaran mereka justru meluruhkan kemampuan AGILE organisasi.
Untuk menjadi AGILE organisasi bisnis perlu melakukan langkah transformasi. Perubahan yang biasa saja atau sifatnya hanya tambal sulam bukanlah sebuah transformasi. Mengganti logo, mengubah susunan direksi, meluncurkan buku kompetensi, mencetak buku saku Visi-Misi-Nilai, hanya merupakan seremonial yang tidak akan berefek ke perubahan kinerja.
Untuk melakukan transformasi perlu ada kumpulan perubahan-perubahan yang sistematis dan langkahnya tertata. Transformasi itu sendiri adalah perubahan yang terjadi di akar perspektif mindset di diri para leader organisasi. Perubahan ini terjadi di tataran cara pandang tentang siapa diri mereka?, apa misi personal dan organisasi mereka? Apa kemungkinan potensi terbesar yang dapat mereka lakukan ketika para pimpinan berkolaborasi dengan melepas ketakutan dan kekhawatiran mereka? Bagaimana potensi terbesar akan dimanifestasikan secara kolektif oleh top manajemen sampai ke level bawah di organisasi?
Mengapa menjadi AGILE sangat penting? Apakah menjadi AGILE hanya berlaku untuk perusahaan start-up atau perusahaan berorientasi teknologi saja?
Saya coba berikan sebuah contoh. Sebuah grup perusahaan otomotif sedang mengalami perubahan. Ada usulan dari kelompok product development untuk membuat platform apps jual beli mobil baru maupun bekas yang berpotensi menjadi game changer bagi kelompok usaha tersebut. Namun ketika sampai pada level atas usulan ini ditolak karena prinsipal mereka memiliki aturan bahwa mereka tidak boleh menggunakan media untuk menjual yang akan membantu mempromosikan produk pesaing. Pola pikir seperti ini merupakan mentalitas scarcity yang tidak lagi relevan di jaman now. Bisnis yang akan tumbuh adalah mereka yang inklusif, kolaboratif, synergistic dan creating value added. Pesaing yang lebih inklusif, memberikan nilai tambah bagi customer akan menjadi pilihan. Cepat atau lambat ‘permainan’ tidak lagi hanya dikendalikan oleh berapa banyak outlet penjualan dan bengkel mereka. Ini hanya satu dari contoh begitu banyak sikap manajemen yang masih bersandar pada kejayaan masa lalu dan kurang memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi di pasar dan lingkungan bisnis.
Mari kita simak karakter organisasi yang akan sulit untuk berkembang pada jaman now. Organisasi seperti ini pada umumnya diisi oleh pimpinan yang masih percaya bahwa bisnis mereka masih kuat, dominan dan stabil. Mereka agak memandang enteng pesaing yang baru muncul. Cara beroperasi mereka masih amat berpegang pada perencanaan dan kontrol. Organisasi mereka masih dipenuhi orang-orang yang menunggu giliran naik jabatan dan kalau sudah berumur lima puluh mulai kehilangan semangat karena fokusnya lebih ke bagaimana ‘mengamankan’ masa setelah pensiun di usia 55 tahun. Para pimpinan yang ada di organisasi ini rata-rata enggan ‘belajar’. Mereka lebih tenggelam dalam seremonial dan penerimaan penghargaan yang ter- di berbagai media dan kesempatan. Saat ini memang rata-rata mereka menjadi incumbent yang memegang pangsa pasar. Jika anda mengintip lebih jauh kedalam operasionalnya, banyak talent star yang tadinya sudah direkrut oleh perusahaan seperti ini hengkang dalam waktu singkat. Para talent ini sadar mereka tidak akan berkembang jika berlama-lama berada di lingkungan seperti ini.
Organisasi AGILE bisa diibaratkan seperti ekosistem kehidupan yang mampu merejuvenasi dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Mereka meredefinisikan kebutuhan customer dengan pola leverage dan blue-ocean dari kombinasi skala ekonomis, harga, nilai baru, kualitas, kemudahan transaksi, inovasi, kecepatan dan reliability. Cara memahami customer menjadi perjalanan yang lengkap dan utuh. Mereka mendengar dan menghayati dengan ‘mendalam’ apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, impian, kekhawatiran dan keraguan pelanggan. Pusat perhatian mereka ada di tengah-tengah ke pelanggan. Mereka menciptakan lingkaran jaringan seputar pelanggan sebagai pusatnya. Jaringan ini merupakan mata rantai value added activity yang mereka tangkap sebagai ceruk peluang yang tidak digarap oleh incumbent (karena ketambunan, kegagapan, kekakuan para incumbent).
Pola organisasi dan pimpinan mereka adalah open (terbuka), tidak hierarkis, mereka belajar dengan cepat dan menyesuaikan diri, filosofis mereka inklusif (tidak separatis dan segregatif). Mereka nyaman dengan ketidakpastian dan menyambut risiko sebagai peluang.
Secara prinsipil point-point dibawah inilah yang menuntun mereka menjadi AGILE:
Organisasi yang AGILE percaya dan menghayati bahwa mereka ada karena untuk memenuhi misi penting yang berpusat pada kepentingan pelanggan, dan juga mengakomodasi kepentingan stakeholders lainnya secara serempak. Mereka menciptakan nilai tambah tidak hanya bagi pelanggan saja, tapi juga bagi supplier, produsen, masyarakat, kaum ekonomi lemah dan minoritas, dan bahkan ke stakeholders lainnya
Organisasi yang AGILE bekerja dengan model kepemimpin adaptive (lihat di referensi Menuju Kepemimpinan Adaptive). Struktur organisasi mereka terbagi menjadi lingkaran-lingkaran team kecil dan besar yang cross functional. Sekat silo fungsional ada namun tidak menjadi penghalang kerjasama lintas fungsi.
Organisasi yang AGILE menjadi lahan subur untuk menumbuhkan AGILE leaders. Penanaman nilai-nilai seperti kesahajaan, keterbukaan, menerima feedback dan koreksi diri, mau turun kebawah, berani mengambil risiko menjadi mengakar karena role modeling dari atas.
Organisasi yang AGILE memiliki pimpinan yang tertransformasi dan beroperasi dengan tingkat kesadaran (consciousness) yang dilandasi keberanian untuk mengatakan apa adanya, satunya kata dan perbuatan, semangat yang kuat untuk melayani dan memberi, serta kemampuan untuk melakukan mengembangankan orang lain.
Organisasi yang AGILE menggunakan technology enabler masa depan. Mereka mengolah big data dan menggunakan analytic untuk akurasi pemetaan sumberdaya manusia dan pelanggan mereka. Kecepatan mereka mengeksekusi dengan mencoba, belajar, memodifikasi, dan mengambil tindakan perbaikan, menjadikan organisasi mereka fleksibel dan responsive.
Istilah AGILE pertama kali dipopulerkan melalui komunitas IT. Saat ini banyak berkembang tools dan methodology untuk menjadi AGILE. Fokus mereka labih ke proses kerja, teknologi dan cara mengorganisasi role/peran. Namun tanpa terjadinya perubahan mindset di diri para leader terlebih dulu, tools dan metoda tidak akan membawa hasil tuntas menuju organisasi AGILE. Tools, metodologi dan proses tidak cukup untuk mengubah mindset. Dengan kata lain budaya atau kultur organisasi yang merupakan kumpulan mindset para leaders biasanya menjadi batu sandungan menuju organisasi AGILE.
Secara sederhana untuk menuju AGILE organization, anda harus melakukan tiga langkah ini:
Menyiapkan mindset para leaders di organisasi menjadi AGILE leaders
Mentransformasikan pola kerja dari hierarkis dan fungsi menjadi team based dengan lingkaran besar dan kecil yang saling berhubungan di lintas fungsi dan ekspertise.
Pimpinan harus membangun dan memfasilitasi proses menuju AGILE menjadi budaya dan keseharian pola tindakan organisasi.
Dalam proses melakukan tiga langkah diatas ada tiga penghalang dari sisi internal organisasi yang berupa kebiasaan sikap reaktif para pimpinan sebagai berikut:
Mengontrol/ Mendominasi: memastikan semua dibawah kendali dan tidak melakukan hal-hal yang dianggap sebagai risiko ataupun ancaman. Bila berlebihan dengan sikap ini maka ada kecenderungan pimpinan menjadi otoriter. Kecenderungan lain di kategori ini adalah sangat ingin agar dirinya dianggap sumber kebenaran. Menyukai dirinya diikuti, dipanuti, disegani ataupun ditakuti. Cenderung menuntut orang lain loyal dan patuh. Dominan dalam kelompok (keinginan untuk mengendalikan). Kurang menyukai pendapat yang berbeda. Merasa ada ancaman saat orang lain, terutama anak buahnya ada yang lebih menonjol (contoh dari sisi: pengetahuan, kepandaian, reputasi).
Menuruti: mengikuti apa yang menjadi permintaan, menyenangkan atasan/ pihak lain, bersikap konservatif, mengikuti kemauan orang banyak (tekanan jumlah suara), maupun pendapat yang lebih dominan. Hal ini dilakukan karena adanya rasa takut kepada konsekuensi buruk yang akan diterima kalau kita tidak menuruti kemauan, pendapat maupun permintaan orang/ kelompok tersebut. Bila berlebihan dengan kecenderungan ini maka seorang pimpinan bisa menjadi yes-man, cari selamat, mengikuti arah angin bertiup, berlindung dibalik SOP dan peraturan, menghindari konflik, menghindari tanggung-jawab, atau bahkan mememanipulasi orang lain.
Memproteksi: melindungi diri kita dengan menyangkal, menyembunyikan, menjaga jarak, menghindari, melawan, menunjukkan dirinya lebih (pandai, kreatif, memegang prinsip, lebih loyal, dst), menjadi arogan, atau bahkan bereaksi tidak suka sampai ke marah. Respon Ini biasanya muncul atas keinginan untuk tidak dinilai buruk atau tidak dipersepsi jelek yang menurutnya akan berimbas kepada kepercayaan, harga diri, martabat, kehormatan ataupun status diri. Bila berlebihan maka maka kecenderungan memproteksi ini bisa membuat ekspresi seseorang muncul sebagai suka mengeles, sinis, suka berdebat, mudah tersinggung, tidak mau berbagi informasi, menyalahkan pihak lain, kurang peka, suka menghakimi atau terkesan melepas tanggung jawab.
Proses Penyiapan para leaders menjadi AGILE merupakan tahap pengembangan yang perlu difasilitasi oleh organisasi. Proses ini terdiri dari beberapa langkah perubahan antara lain:
1. Pegeseran dari sikap reaktif pimpinan menuju respon kreatif.
Respon kreatif bisa dibangun dengan melatih para leader untuk mengenali un-met needs mereka yang muncul sebagai rasa takut. Rasa takut para pimpinan yang paling sering menjadi penghambat kreatifitas mereka dalam mengambil keputusan dan sikap antara lain:
Takut dipersepsi tidak mampu
Takut dianggap mau menentang atasan
Takut konsekuensi kesempatan posisi/jabatan akan hilang
Takut tidak diberi kekuasaan / dikurangi otoritasnya
Takut dikucilkan dari lingkaran satu top manajemen
Menanamkan respon kreatif merupakan proses pengembangan kepemimpinan. Energi organisasi untuk menjadi kreatif dan suasana yang membangun semangat sering menjadi melempem karena adanya rasa takut diatas. Anggota di team operasional bisa ‘merasa’ dan ‘membaca’ hal seperti diatas dalam keseharian tugas mereka. Organisasi yang penuh dengan intrik dan politik pada umumnya terisi oleh pimpinan yang beroperasi dengan fear based diatas. Inilah yang oleh Richard Barrett disebut sebagai entropi atau energi yang akan mengerosi kekuatan organisasi untuk tumbuh dan berkembang.
2. Mengajak para leader keluar dari comfort zone mereka dan masuk kedalam learning zone.
Proses ini tidak bisa dilakukan dari bawah keatas. Proses ini perlu good will atau kesungguhan pimpinan puncak untuk merangkul keyakinan bahwa masuk ke learning zone adalah prasayarat organisasi menuju AGILE. Proses ini perlu penumbuhan inspirasi dan buy-in. Pimpinan yang sadar akan tugas dan misinya serta mengalami proses keluar dari comfort zone baru dapat mengajak anggotanya melakukan hal yang serupa. Jika hanya sebatas retorika ajakan berubah maka sulit untuk mengajak perubahan menjadi kenyataan di akar rumput organisasi.
3. Melakukan pergeseran dari pemegang kekuasaan dan jabatan menuju ke fasilitator team.
Patok banding suatu organisasi menjadi AGILE atau tidak adalah kondisi bahwa para pimpinan mampu mengembangkan orang-orang dibawahnya menjadi future leaders. Ketika pimpinan lengser dari jabatannya ada kesiapan generasi berikutnya dengan kapabilitas yang mumpuni dan kesiapan di lapangan. Ini berarti waktu pimpinan akan terserap banyak di kegiatan internal yang antara lain untuk mengembangkan pool talents dan future leaders. Jack Welch, CEO legendaris GE, pernah menyatakan bahwa 20% waktunya digunakan untuk mengidentifikasi talent dan menggembangkan mereka. Untuk sampai bisa melakukan proses leaders develop leaders maka para pimpinan puncak tidak bisa hanya menjadi “pemberi instruksi”. Mereka perlu menjadi pemandu, fasilitator dan juga Pembina. Ini memerlukan pembekalan dan juga proses untuk mengupgrade skills leadership. Para leaders perlu belajar bagaimana bertanya untuk membuka pemikiran baru anggotanya. Bagaimana mengolala proses thinking kolektif anggota BOD lainnya. Singkat kata, pergeseran ini dimulai dengan mengakui bahwa “saya’ perlu diupgrade dalam skill fasilitasi. Tidak peduli setinggi apapun jabatan seseorang, tanpa sikap dan pengakuan ini dari dirinya sebagai leader maka transformasi akan mandeg ditengah jalan.
Proses menuju AGILE organization perlu dibarengi dengan penyesuaian system organisasi yang mendukung AGILITY. Penyiapan system organisasi ini bukan hanya sekedar membuat struktur dan menciptakan pos-pos jabatan/tanggung jawab baru. Kita memerlukan cara baru dalam mengelola proses AGILE. Langkah tersebut antara lain:
1. Review dan penyesuaian terhadap organisasi dari sisi struktur, fungsi, role, responsibility dan output.
Secara system organisasi yang AGILE menerapkan transparansi informasi, melebur sekat silo, meningkatkan kolaborasi lintas fungsi. Organisasi berubah dari struktur piramida menjadi lingkaran besar yang terdiri dari lingkaran kecil yang diisi oleh peran dan tanggungjawab yang end-to-end. Hirarki vertical diubah menjadi lebih flat. Perubahan struktur Agile dimulai dari piloting yang bisa dilakukan dengan skala bubble tertentu. Mulainya bisa dari IT, HR ataupun Sales dan Marketing. Proses mengadopsi Agile memerlukan perjalanan transformasi mindset sebagai landasan software dari system organisasi yang baru. Proses review dan penyesuaian ini memerlukan komitmen dan partisipasi top team. Mereka perlu ikut memutuskan bagaimana charter organisasi baru diputuskan. Apa pergeseran As Is menuju To be yang akan dilakukan. Fasilitasi pihak luar yang berpengalaman melakukan journey towards Agility amat menentukan apakah step pertama ini akan sukses atau tidak. Banyak perusahaan di langkah ini Agile hanya dianggap sebagai kegiatan IT atau percobaan kecil tanpa melibatkan top manajemen. Disinilah letaknya kekeliruan dalam proses menuju Agile. Tanpa partisipasi langsung dan dukungan top manajemen, Agile hanya dianggap sebagai tools dan bukan sebuah perjalanan transformasi.
2. Penentuan apa saja perubahan proses kerja organisasi yang baru dan bagaimana pola struktur yang akan diadopsi kedalam pola kerja team.
Adanya pola hirarkis menyebabkan hambatan dalam kecepatan dan objektifitas keputusan. Mereka yang dibawah hirarki takut melangkahi yang diatasnya. Mereka yang bukan fungsinya menghindari ‘masuk’ ke ranah fungsi lain. Saling menjaga perasaan dan wilayah masing-masing menjadi penghambat utama menuju organisasi yang Agile. Proses kerja agile perlu dibarengi dengan perubahan struktur dengan pola aturan main (metrics kinerja) yang akan mengkondisikan kolaborasi, keterbukaan, experimentasi dan iterasi (mencoba) hal baru. Team perlu diberi pemberdayaan otoritas, mereka menjadi terbuka dan menerima keanggotaan yang lebih bervariasi (tidak hanya eksklusif kelompok tertentu saja). Pandangan yang plural menjadi kebiasaan baru. Cara kerja mereka seperti mengelola projek dengan waktu yang singkat. Tugas dan prioritas berdurasi pendek ditetapkan dan fokus berubah ke pencapaian eksperimentasi serta pembelajaran. Prioritas kerja team adalah upaya untuk menjawab kebutuhan pelanggan lebih tepat dan mengena. Sehingga proses memonetasi berjalan seiring dengan peralihan menuju Agile organization,
3. Proses perubahan menuju self-managed team dan organization.
Proses ini memerlukan transformasi fokus dari performance menuju ke health. Scott Keller dari McKinsey mengatakan perlunya organisasi memperhatikan health sebagai prasayarat untuk mencapai kinerja yang sustainable. Yang dimaksud dengan health adalah pengembangan kemampuan penyelasaran, eksekusi dan renewal. Penyelarasan dilakukan dengan melakukan sinkronisasi pada arah/visi/misi – kepemimpinan dan mindset/budaya organisasi. Eksekusi dikunci lewat leadership- system akuntabilitas-kordinasi-dan motivasi. Sedangkan renewal (pembaharuan) dibangun dengan leadership-orientasi eksternal dan pembelajaran. Pola self managed team memerlukan perubahan tata nilai (value) para leader di organisasi dari:
Mengelola orang lain -> Mengelola diri sendiri
Mengutamakan skills -> Meningkatkan kesadaran
Mementingkan hasil -> Mengutamakan eksperimentasi
Pencapaian Kinerja -> Kesehatan (health) organisasi
Mementingkan perilaku -> Mennggunakan struktur agile
Pemberdayaan kebawah -> Komitmen & partisipasi top manajemen
Proses transformasi menuju AGILE merupakan perjalanan yang tidak mudah dan memerlukan energi serta tuntunan langkah yang benar. Sayangnya pengertian AGILE masih hanya disikapi sebagai semacam tool atau metodologi saja. Praktisi Human Capital banyak yang mencoba memahami agile hanya dari membaca buku, mendownload referensi di internet dan mendatangi wokshop tentang Agile. Perubahan menuju Agile tidak bisa hanya dilakukan dengan cara-cara setengah hati. Pemahaman Agile organization itu sendiri memerlukan kesadaran baru melihat pentingnya perubahan dari sisi mindset – culture – komitmen top manajemen dan keterlibatan mereka dari fase awal sampai perjalanan berlangsung. Perjalanan yang tidak mudah menuju Agile jika dipraktekkan akan memberikan reward jangka panjang yang sangat bernilai. Perusahaan yang telah mengadopsi Agile dan sukses memang belum banyak contohnya. Bank seperti ING di Belanda sudah mulai menerapkan full scale AGILE. Hirarki mereka dipangkas dari sembilan hanya menjadi tiga layer. Cara kerja mereka menjadi lebih cepat, produktif, kreatif dan bisnis mereka juga tumbuh secara sehat. Perjalanan menuju AGILE masih berada pada tahapan early adopter. Namun prinsip menuju kesana tidak bisa tidak harus mengakomodasi PROSES - STRUCTURE - CULTURE. Dan tanpa keterlibatan langsung Top Management, perubahan Culture hanya akan menjadi seremonial. Demikian pula dengan Proses dan Structure yang akan mandul tanpa perubahan mindset para pimpinan. Karena perubahan Culture hanya akan terjadi jika mindset para pimpinan juga berubah.
Copyright by Leksana TH
Leksanath@hotmail.com
www.sscleadership.com