top of page

Transformasi Culture adalah Perubahan Kesadaran Para Leaders


Tingkatan Kesadaran Kesadaran diwujudkan sebagai perhatian anda. Apa yang menjadi tujuan perhatian anda ditentukan oleh apa yang menjadi kebutuhan anda. Jadi secara kausal kebutuhan diri anda akan menentukan kesadaran anda. Maslow menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki lima tingkatan kebutuhan. Kebutuhan fisiologis yaitu makan, minum dan tempat berteduh. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan untuk merasa aman. Kebutuhan ketiga adalah kebututuhan untuk rasa memiliki dan kasih sayang. Kebutuhan keempat adalah kebutuhan untuk dihargai dan diapresiasi (self esteem). Kebutuhan kelima adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri. Richard Barrett mengadopsi teori hirarki kebutuhan Maslow dan memodifikasinya menjadi tingkat kesadaran yang terdiri dari tujuh tingkatan. Hirarki kebutuhan Maslow pertama sampai keempat dijadikan tiga tingkatan kesadaran pertama. Sedangkan tingkat kebutuhan model Maslow kelima menjadi tingkatan kebutuhan untuk transformasi atau kebutuhan keempat. Mari kita bahas lebih lanjut apa saja tingkat kesadaran yang dimaksud Richard Barret.

Tingkat kesadaran di level bawah merupakan kesadaran yang masih dikendalikan oleh tiga jenis kebutuhan ego manusia. Kebutuhan ini didorong oleh mindset yang didominasi rasa kurang (scarcity), khawatir dan takut. Tingkat kesadaran bawah ini dicirikan oleh kuatnya kebutuhan ego diri terutama dalam konteks untuk survive dan menang (mempertahankan eksistensi dirinya, posisi/jabatan, imej, reputasi diri, serta keinginan untuk menang). Kebutuhan ego yang ada pada tiga kesadaran bawah ini bisa membesar sedemikian sehingga mengecilkan kesadaran atas misi, tugas ataupun peran diri seorang leader sebagai pengayom, penggerak, pelindung atau untuk kepentingan yang lebih besar dari kepentingan ego dirinya. Seorang leader akan mulai memiliki tingkat kesadaran meningkat ke level atas pada saat dirinya menyadari perlunya melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri terlebih dulu. Mereka mulai mengakui bahwa dirinya masih perlu belajar dan ‘bertumbuh’. Kesadaran ini memang tidak mudah untuk dimunculkan terutama pada mereka yang sudah berada pada zona nyaman, memegang jabatan penting dan hampir tiap hari didatangi oleh orang-orang yang meminta restu, persetujuan, maupun keputusan dari dirinya. Individu yang ada di posisi ini cenderung hidup terlena dalam ruang lingkup perbatasan fatamorgana kekuasaan. Tidak jarang bahkan mereka merasa dirinya berada diatas ‘awan’ dan mengganggap orang lain ‘kurang’ dari dirinya (dalam hal kepandaian, pengetahuan, atau kemampuan). Tanpa disadari juga dengan sistem organisasi yang sangat hirarkis, dinding dan sekat jabatan ini sering menjadi ‘membutakan’ bagi mereka pemegang jabatan yang diatas. Dunia penghormatan, seremonial gunting pita, pemberian penghargaan yang ter-, kepemilikan otoritas dan kekuasaan, menjadikan diri mereka kurang sadar bahkan sampai buta kalau mereka sendiri ‘tidak sadar’ (atas kekurangan dan ketidakmampuan mereka dalam konteks memimpin).

Organisasi yang diisi oleh leader adaptif meninggalkan warisan pimpinan generasi muda dan para talenta yang siap dengan mindset adaptif. Leader adaptif melakukan transformasi organisasi dan meninggalkan jejak budaya organisasi seperti kolaborasi, synergy, honesty, resilience (keuletan), adaptif dan kreatifitas. Para leader adaptif ini biasanya justru jauh dari hingar bingar kegiatan yang tujuannya untuk mempopulerkan diri dan tidak menaruh banyak perhatian kepada seremonial penghargaan. Waktu mereka terserap bekerja keras dalam membangun organisasi. Mereka percaya diri bahwa keberhasilan dirinya memimpin ditentukan oleh nilai-nilai prinsip yang mereka pegang. Nilai-nilai ini merupakan arah tuntunan perilaku para leaders dalam organisasinya. Dalam empat level kesadaran yang ada diatas terdapat nilai-nilai seperti melayani kepada sesama, coaching dan mentoring, mengkoreksi asumsi diri yang kurang tepat, kepedulian, pembelajaran kontinyu, integritas dan keberanian untuk mengakui kekeliruan ataupun ketidaktahuan. Bagaimana suatu organisasi bisa mengembangkan sumber daya manusia yang menghayati dan mempraktekkan nilai-nilai seperti diatas? Kita akan mengupasnya dibagian tulisan berikut untuk memulai langkah membuat organisasi tertransformasi sehingga para leadernya berkembang menjadi leader adaptif.

Otto Scharmer, Joseph Jaworski dan Peter Senge adalah pakar system dan management di MIT yang turut membidani lahirnya teori U. Latar belakang munculnya teori U dipicu pemikiran akan perlunya melakukan transformasi yang mengakar ke level individu. Para ahli ini paham bahwa berbagai cara dan pendekatan transformasi yang ada selama ini belum menjawab tuntas perubahan yang diperlukan di era lingkungan yang berkembang sedemikian kompleks. Teori U memberi jawaban aplikatif bagi individu, organisasi maupun sistem sosial untuk mengatasi tantangan yang tadinya dirasa amat sulit untuk diatasi. Transformasi menggunakan teori U membantu mengubah proses berpikir secara individual dan kolektif. Teori U menyesuaikan cara pandang, sikap dan respon terhadap masalah yang dihadapi para leaders menjadi lebih akurat dan menyerap aspek maupun variable penting yang tadinya kurang diperhatikan. Sebagai contoh respon yang menjadi kebiasaan umum di organisasi adalah ketergesaan para leaders mencari solusi saat menghadapi suatu masalah atau tantangan. Tanpa didukung mindset baru, kebiasaan seperti ini bisa menjadi bumerang dan justru menghambat mencapai solusi yang optimal. Ketergesaan muncul dari kebiasaan alam bawah sadar yang merespon terhadap apa yang terjadi di luar sebagai sesuatu yang ditakuti (dikhawatirkan). Ketika seseorang memaknai stimulus luar sebagai ancaman maka rasa takut akan menjadi pengendali otomatis respon dirinya. Dalam cengkeraman ketergesaan, ketelitian dan pertimbangan bijak sering terlewatkan. Berapa kali anda pernah menerima desakan yang muncul dari atas untuk mendahulukan prioritas project mereka. Anda menjadi kewalahan mereschedule prioritas lainnya. Jika tipe atasan anda ambisius dan pengontrol maka amat mungkin anda akan terpengaruh untuk mencari selamat mengikuti apa permintaannya. Kadang akan muncul konflik internal dalam diri anda. Apakah anda akan mengikuti nilai integritas yang mengatakan anda seharusnya tidak memenuhi permintaan atasan? atau jika tidak anda mau terima risiko untuk berkurang kans promosi dan penilaian baik ditahun ini anda bisa mementingkan apa kata bos. Jika ini yang dipilih maka bisa jadi perhatian anda akan tertuju kepada bagaimana memenuhi keinginannya. Seluruh perhatian anda akan terpusat kesana. Anda akan miss atau lengah dalam konteks memimpin adaptif. Tidak sedikit organisasi yang sudah masuk kategori penerima penghargaan, namun beroperasi dengan pola pemadam kebakaran seperti ini. Bos atau atasan mereka cenderung mengikuti apa yang akan membuat mereka lebih populer di media atau didukung lagi oleh para penentu kursi jabatan mereka. Coba anda rasakan bagaimana anda berada dan bekerja di organisasi seperti ini? Organisasi dimana anda sulit menjadi otentik dan perlu ‘membungkus’ apa kata hati anda yang berdasar nilai kesadaran apa yang benar. Dalam organisasi tipe “pemadam kebakaran” dan “seremonial” yang menjadi perhatian dan menyedot energi para leader adalah bagaimana memiliki “pentas” untuk membuat diri mereka menjadi lebih “terlihat” dan “tersorot”. Karena hal itulah yang dipercayai mereka sebagai “kunci sukses karir”. Di kalangan atasan mereka, kedaan yang mirip sebenarnya juga terjadi. Ujung pangkal situasi ini berawal dari si penentu utama nasib kursi jabatan, yang dalam proses pengambilan keputusan pemilihan eksekutif puncak lebih mengandalkan info dari “keterkenalan” dan “rekam jejak” para potential kandidat. Sayangnya yang luput dari perhatian adalah apakah “rekam jejak” mereka, meninggalkan legacy organisasi yang lebih tertata dan independen? atau malah hanya bagus ‘pas’ dipimpin mereka tapi kinerjanya melempem lagi setelah mereka pergi? Pembuat keputusan utama ini sebenarnya tidak memahami benar seluk beluk bagaimana sebaiknya kepemimpinan organisasi ditentukan. Mereka lebih memperhatikan indikator keuangan dan rasio-rasio yang sifatnya merupakan petunjuk sesaat. Transformasi dengan proses U mengajak kita untuk mendudukan porsi kesadaran sebagai sesuatu yang amat vital jika suatu organisasi diinginkan memang untuk survive dan grow secara sustainable. Langkah yang paling pertama dalam transformasi antara lain adalah menggali dan memahami kesadaran apa yang dimiliki oleh para leaders suatu organisasi. Kesadaran yang sering menimbulkan efek destruktif jangka pendek ataupun dalam jangka panjang adalah kesadaran yang dikendalikan oleh rasa takut.

Mari kita bahas sejenak bagaimana kesadaran yang didominasi oleh rasa takut ini muncul dan terbentuk dalam diri kita. Pada masa prasejarah manusia hidup dalam lingkungan yang penuh ancaman dari alam sekitarnya. Wujud ancaman ini bisa berupa binatang buas, kelompok suku lain ataupun lingkungan alam yang masih liar. Dimasa modern ini ancaman dalam wujud seperti itu tidak lagi ada dalam lingkungan hidup kita. Namun manusia masih memiliki insting untuk menengarai sesuatu sebagi ancaman layaknya bak bertemu binatang buas pada prasejarah. Struktur otak kita di bagian amygdala memiliki mekanisme pertahanan diri ini sebagai cara untuk membuat kita siap menghindar, melawan atau diam. Walaupun lingkungan hidup kita bukan lagi dalam era primitif namun otak kita merespon komentar pedas atasan, opini rekan kerja mengenai kualitas project dalam meeting, nada suara yang menunjukan rasa kurang hormat, sebagai ancaman. Selain dari mekanisme evolusi manusia, kita juga menerima programming dari lingkungan dan budaya bagaimana kita ditumbuh-kembangkan. Bagaimana situasi lingkungan kita dibesarkan. Apa yang terjadi dalam keluarga kita. Bagaimana orang tua kita mendidik. Faktor tadi amat berpengaruh terhadap bagaimana kita memiliki mindset atau filter yang akan menerjemahkan apa yang terjadi diluar diri kita. Filter inilah yang akan memberi makna dan berpengaruh terhadap kemampuan kita untuk mengelola respon. Sebagian besar dari filter tadi berupa pemrograman yang dilandasi rasa takut. Takut tidak bisa survive, takut kehilangan posisi, takut tidak akan disukai, takut dianggap tidak kompeten, takut tidak dihargai, dst. Jika kita tidak melatih diri untuk mengelola proses penerjemahan ini maka bisa jadi secara otomatis kita akan terkondisikan untuk merespon dengan apa yang disebut dalam pengaruh “amygdala hijack”. Dalam kondisi terhijack dan dilandasi rasa takut tanpa disadari kita akan merespon masalah atau tantangan dengan pendekatan yang sifatnya reaktif dan bisa menuju ke destruktif.Tiga Jenis Respon reaktif Ada tiga kategori respon reaktif yang dilandasi oleh rasa ‘takut’ dan ‘mentalitas kekurangan’. Secara umum respon reaktif ini mengacu pada perilaku sbb:

1. Mengontrol: mencoba memastikan semua dibawah kendali dan memastikan bahwa semua pihak tidak melakukan hal-hal yang kita anggap sebagai risiko ataupun ancaman. Bila berlebihan dengan respon ini maka ada kecenderungan seseorang menjadi otoriter. Kecenderungan lain di kategori ini adalah sangat ingin agar dirinya menjadi yang benar dan sempurna. Menyukai dirinya diikuti, dipanuti, disegani ataupun ditakuti. Cenderung menuntut orang lain loyal dan patuh. Dominan dalam kelompok (keinginan untuk mengendalikan). Tidak menyukai pendapat yang berbeda. Merasa ada ancaman saat orang lain, terutama anak buahnya ada yang lebih menonjol (contoh dari sisi: pengetahuan, kepandaian, reputasi).

2. Menuruti: mengikuti apa yang menjadi permintaan, menyenangkan atasan/ orang lain, bersikap konservatif, mengikuti kemauan orang banyak (tekanan jumlah suara), maupun pendapat yang lebih dominan. Hal ini dilakukan karena adanya rasa takut kepada konsekuensi buruk yang akan diterima kalau kita tidak menuruti kemauan, pendapat maupun permintaan orang/ kelompok tersebut. Bila berlebihan dengan kecenderungan ini maka seseorang bisa menjadi yes-man, cari selamat, mengikuti arah angin bertiup, berlindung dibalik SOP dan peraturan, menghindari konflik, menghindari tanggung-jawab, atau bahkan mememanipulasi orang lain.

3. Memproteksi: melindungi diri kita dengan menyangkal, menyembunyikan, menjaga jarak, menghindari, melawan, menunjukkan dirinya lebih (pandai, kreatif, memegang prinsip, lebih loyal, dst), menjadi arogan, atau bahkan bereaksi tidak suka sampai ke marah. Respon Ini biasanya muncul atas keinginan untuk tidak dinilai buruk atau tidak dipersepsi jelek yang menurutnya akan berimbas kepada kepercayaan, harga diri, martabat, kehormatan ataupun status diri. Bila berlebihan maka maka kecenderungan memproteksi ini bisa membuat ekspresi seseorang muncul sebagai suka mengeles, sinis, suka berdebat, mudah tersinggung, tidak mau berbagi informasi, menyalahkan pihak lain, kurang peka, suka menghakimi atau terkesan melepas tanggung jawab.

Bisa dibayangkan bagaimana suatu organisasi akan maju dan bertumbuh apabila para pimpinannya memiliki kecenderungan respon-respon reaktif seperti yang dicontohkan diatas? Pola respon reaktif ini ada pada tingkatan kesadaran di tiga level kesadaran paling bawah. Menurut riset yang dilakukan Richard Barrett suatu organisasi hanya akan mencapai tingkat kesadaran kolektif tertentu sesuai dengan tingkatan kesadaran yang dimiliki oleh pucuk pimpinan di organisasi tersebut. Ini menimbulkan implikasi bahwa sehebat apapun klaim program yang dinyatakan bisa mendorong perubahan ataupun transformasi, tidak akan mencapai sasaran perubahan jika tingkat kesadaran para leader puncak masih berada pada tingkat kesadaran bawah yang manifestasi negatifnya ke pola respon reaktif seperti yang diuraikan diatas. Hanya melalui perubahan kesadaran yang terjadi pada tingkatan individu sang pimpinan di organisasi itu, perubahan akan terjadi secara kolektif, serentak dan menyeluruh. Mengapa demikian? Karena kesadaran (consciousness, bukan awareness) menurut Richard Barrett menentukan pola pemaknaan seseorang terhadap apa yang menjadi bernilai, apa yang diprioritaskan, kemana energi akan mengalir dan apa yang memperoleh perhatian. Jika kesadaran para leader berada pada level 4-7 maka perhatian dan energi mereka akan mengalir dan fokus ke arah: bagaimana organisasinya berkembang (mengembangkan dirinya dan orang lain), bagaimana menjadi otentik (tidak memanipulasi dan berintegritas tinggi), bagaimana bisa memberikan nilai tambah dan berbeda (make a difference) dan melayani orang lain (menjadi berkah bagi bisnis/sesama). Tiga Tingkat Kesadaran Pertama Mari kita bahas apa yang dimaksud dengan tujuh tingkatan kesadaran. Tiga tingkat kesadaran yang pertama merupakan adopsi dari hirarki kebutuhan manusia Maslow. Dalam teori psikologinya Maslow mengatakan bahwa manusia memiliki lima jenis kebutuhan. Kebutuhan paling dasar adalah fisiologis (makan minum dan berteduh). Kebutuhan kedua adalah rasa aman. Kebutuhan ketiga adalah kasih sayang. Kebutuhan keempat adalah self esteem dan kebutuhan kelima adalah aktualisasi diri. Menurut Maslow manusia akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi manakala kebutuhan yang lebih rendah sudah tercapai. Richard Barrett mengadopsi hirarki Maslow sebagai tingkatan kesadaran. Hirarki Maslow pertama sampai keempat diadopsi oleh Barrett sebagai tingkat kesadaran pertama sampai ketiga. Barrett memodifikasi kebutuhan sebagai penggerak kesadaran. Barrett menekankan bahwa kesadaran kita berasal dari apa yang menjadi perhatian diri kita kepada kebutuhan diri kita. Ketiga kesadaran pertama ini diperlukan agar kita bisa survive, bisa menjaga keharmonisan hubungan dalam kelompok, berprestasi serta bangga dengan pencapaian diri kita. Sebagai contoh kesadaran pertama adalah mengenai survival. Perhatian kita dikesadaran ini tertuju kearah bagaimana fisik kita bisa menopang keberlangsungan hidup kita dan bagaimana income kita bisa mencukupi kebutuhan hidup kita. Kesadaran pertama mengarahkan perhatian kita ke kesehatan, keuangan, posisi, kesempatan, karir dan segala sesuatu yang berhubungan dengan eksistensi survival kita. Kesadaran kedua adalah mengenai bagaimana kita bisa menjaga hubungan dengan orang, lingkungan ataupun jaringan dimana kita merasa perlu terafiliasi dengannya. Di kesadaran kedua perhatian kita teruju pada kebutuhan agar diterima di suatu kelompok, disetujui oleh kelompok atau orang lain. Kesadaran kedua sebenarnya merupakan mekanisme kita sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan berafiliasi. Kita tidak bisa hidup sendirian di dunia ini. Kesadaran kedua mengarahkan perhatian kita memodifikasi sikap dan perilaku supaya cocok dengan lingkungan tempat kita berada. Sehingga kita bisa diterima dilingkungan itu. Kesadaran ketiga mengarahkan kita untuk memiliki sesuatu yang bisa berupa skill, keahlian, talenta, kemampuan, kekayaan, kerupawanan. Kita memerlukan pengakuan bahwa kita termasuk orang yang memiliki pengetahuan, skill, keahlian, rupawan, kaya, dan status lainnya. Dengan kesadaran ketiga kita bisa merasa terhormat, mendapatkan penghargaan, penghormatan ataupun pengakuan dari orang lain maupun lingkungan kita. Namun jika kita terlalu didorong lebih banyak untuk khawatir atau takut terhadap terpenuhinya kebutuhan tadi maka yang muncul adalah reaksi negatif yang akan membatasi diri kita. Ini bisa berupa kekhawatiran ataupun ketakutan tidak bisa survive, tidak harmonis, ditinggalkan kelompok ataupun kehilangan kebanggaan. Kecenderungan seseorang yang dibayangi rasa khawatir atau takut sebenarnya berasal dari pengaruh perkembangan masa kecilnya. Masa perkembangan balita sampai tujuh tahun merupakan usia yang paling penting untuk masa pencetakan (imprint) mindset. Masa selanjutnya setelah usia tujuh tahun masih berpengaruh namun akar bercokolnya rasa takut dan khawatir merupakan sesuatu yang pada umumnya terjadi melalui trauma di masa usia nol sampai tujuh tahun. Mengapa demikian? karena pada masa usia ini otak kita belum bertumbuh penuh. Anak sampai usia tujuh tahun masih hidup dalam dunia imajinasi. Mereka bermain pasir dan mencampurnya dengan air lalu membentuknya menjadi ‘kue’ untuk ‘dijual’ bersama teman-teman mereka. Bermain, berimajinasi dan berfantasi adalah dunia masa-masa sampai tujuh tahun. Dalam usia ini anak-anak amat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Jika anak usia ini tumbuh dalam suasana kemiskinan, serba kekurangan dan dari hari kehari dia melihat bagaimana orang tuanya bertengkar karena masalah ekonomi. Bila dalam hari-hari si anak lebih terekspos pada konflik, tekanan untuk hidup ‘susah’, tuntutan untuk jadi dewasa sebelum waktunya (sementara teman-temannya lagi menikmati masa bermain si anak ini sedang ikut bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, atau bahkan harus menjaga adik-adiknya yang masih kecil sementara si anak sendiri belum cukup umur). Maka bisa jadi si anak akan mengalami apa yang disebut trauma. Alam bekerja dengan tidak linear. Tidak semuanya yang mengalami peristiwa masa kecil ini menjadi tumbuh dewasa dengan traumatis dan menjadi pribadi yang lemah. Namun ‘luka’ masa kecil ini tidak bisa tidak menimbulkan torehan bawah sadar kebutuhan yang tidak terpenuhi. Salah satunya adalah kemungkinan kebutuhan untuk merasa cukup. Korupsi yang terjadi di kalangan pejabat yang sudah memiliki aset melebihi takaran kebutuhan ekonomis hidup orang normal menunjukan adanya sikap rakus dan tamak. Jika dilihat dari latar belakang kehidupan mereka, amat mungkin kalau sikap ini muncul dari trauma masa lalu dimana ada kebutuhan untuk merasa ‘aman’ dengan ‘uang’ yang ‘lebih’. Maka mengapa di negara miskin justru lebih korup dari negara maju. Bukan saja karena perangkat hukum yang tidak bekerja dengan baik, ataupun edukasi yang masih tertinggal jauh, tapi juga trauma orang-orang yang hidup di negara tersebut dimana masa kecil hidup amat sulit. Keluarga dengan jumlah anak yang banyak. Orang tua yang harus mengorbankan anak-anaknya untuk dipekerjakan atau kawin muda. Orang tua yang terlalu berambisi ingin anaknya mencapai apa yang dulu mereka tidak bisa capai juga bisa menimbulkan luka yang dalam terhadap kesehatan pertumbuhan psikologis sang anak. Sama juga dengan orang tua yang terlalu disiplin dan otoriter. Bagi orang tua yang terlalu berambisi dan tanpa sadar menukar prestasi dan pencapaian anak dengan kasih sayang mereka, akan menimbulkan luka kebutuhan akan ‘kasih sayang tanpa syarat’ (unconditional love). Orang tua yang terlalu menuntut anak-anaknya berprestasi biasanya membuat anaknya kelak tumbuh menjadi orang yang sangat kritis, cenderung melihat sisi negatif, tidak mudah puas dan bersikap korosif.

Di negara Singapura dimana pendidikan akademis merupakan prioritas bagi keluarga, tidak sedikit anak-anak yang ketika bersekolah sangat berprestasi setelah masuk ke kehidupan karir hanya menjadi leader yang biasa dan tidak menunjukan keistimewaan ataupun keunikannya sebagai leader. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang setelah berkecimpung di dunia organisasi lebih cenderung ‘menikmati’ hidup, tidak terlalu memperhatikan lingkungan sekitarnya dan hidup dengan sentralitas dirinya. Anda perlu mengetahui hal-hal semacam ini karena sebagai pemimpin didalam organisasi anda memiliki tugas untuk mengembangkan diri anda sendiri dan orang-orang yang anda pimpin. Memahami kesadaran anda sendiri adalah satu langkah maju untuk memulai transformasi diri.

Mari kita selami lebih dalam mengenai tiga kesadaran pertama dan kondisinya dalam konteks adanya kekhawatiran dan ketakutan tidak terpenuhinya kebutuhan anda di masing-masing level kesadaran:

Ref: Richard Barrett - 7 Levels of Consciousness

1. Kesadaran tingkat pertama didorong oleh kebutuhan untuk survival fisik dan menjaga ego. Energi dan perhatian kesadaran tingkat satu mengarah pada hal-hal yang dirasa akan mengancam survival, keberadaan maupun eksistensi baik secara fisik maupun kelangsungan keuangan seseorang. Mengapa keuangan? Karena pada jaman modern ini kita memerlukan uang sebagai alat untuk menjaga kelangsungan hidup kita. Dasar dari kesadaran tingkat pertama adalah adanya kekhawatiran maupun ketakutan akan kelangsungan hidup kita. Ketika anda merasa tidak aman baik secara fisik maupun keuangan, maka kesadaran anda akan bergeser berada pada mode bertahan hidup (survival). Jika di masa kecil anda tidak pernah merasa ditelantarkan, ditinggal orang tua anda (cerai, meninggal atau meninggalkan), atau mengalami ancaman hidup, maka kemungkinan anda akan berkembang dengan ego yang memiliki hubungan sehat dengan kesadaran survival. Anda akan responsif dan tidak bersikap reaktif terhadap situasi survival. Anda akan bisa menyikapi situasi survival dengan tenang tanpa harus emosional, menjadi khawatir ataupun takut. Namun sebaliknya jika orang tua anda mengabaikan anda di masa kecil anda atau anda mengalami tekanan keadaan untuk survive (bisa karena masalah keuangan maupun tidak adanya payung kepastian siapa yang menjaga dan menopang hidup anda) maka tanpa sadar timbunan penderitaan ini dapat menumbuhkan rasa takut akan terulangnya peristiwa menyakitkan ini dalam alam bawah sadar anda. Anda menjadi mudah terpicu dan bereaksi secara emosional ke situasi yang anda rasa mengancam diri anda (posisi, jabatan, keuangan, karir, atau kesehatan). Jika anda memiliki kecenderungan takut atas survival anda maka perhatian dan energi anda mengarah ke bagaimana mengamankan status, jabatan, posisi, penghasilan, project, atau segala sesuatu yang merupakan kepastian untuk kelangsungan hidup anda. Kesadaran di tingkatan ini erat hubungannya dengan materi, finansial dan kesehatan fisik. Kesadaran ini dilandasi oleh rasa takut dan keyakinan atas tidak cukupnya uang, kesempatan, kepastian untuk memenuhi kebutuhan kita agar kita bisa survive.

2. Kesadaran kedua adalah tentang perlunya memiliki hubungan (relationship) dengan orang lain atau afiliasi terhadap kelompok. Kesadaran ini tumbuh seiring dengan proses adaptasi dan evolusi manusia menjadi makhluk yang hidup berkelompok. Dalam perjalanan evolusi, kita belajar untuk memiliki ketergantungan dan ikatan kepada kelompok. Perilaku ini penting karena dengan memiliki atau berada pada kelompok akan muncul rasa aman karena terlindungi dari berbagai risiko seperti serangan kelompok lain. Pada jaman primitif bila seseorang dikeluarkan dari kelompoknya (sukunya) maka risikonya adalah menemui maut. Jaman kini bukan masa prasejarah lagi namun kesadaran ini masih ada dalam wujud yang berbeda. Pada era modern kita dapat melihat munculnya kelompok dan afiliasi sebagai tempat untuk membuat diri kita merasa aman dan terlindungi. Kesadaran kedua ini mengarahkan perhatian dan energi kita kepada tindakan yang pada dasarnya mendorong agar kita merasa diterima dalam kelompok yang kita inginkan. Manifestasi dari kesadaran ini bisa merupakan tindakan yang memiliki tujuan agar kita dicintai, diperhatikan atau diterima sebagai anggota suatu kelompok (keluarga, rekan kerja, atasan, anggota team elite, kelompok sosial, kelompok religi, dst). Jika di masa kecil anda menerima kasih sayang dan perhatian yang cukup dari orang tua anda dan mereka mencintai anda tanpa kondisi (unconditional love) maka anda akan tumbuh sebagai orang yang memiliki kesadaran hubungan yang sehat. Anda merasa aman karena anda beranjak dewasa dengan lingkungan yang penuh oleh kasih sayang. Jika anda tumbuh dengan orang tua yang menuntut perilaku anda yang ditukar dengan rasa kasih sayang dan perhatian mereka maka anda belajar bahwa untuk dicintai anda harus berusaha dan melakukan hal tertentu yang diinginkan mereka. Kalau orang tua anda menekankan aturan perilaku tertentu ini dengan ancaman anda tidak dicintai atau diperhatikan (jika anda tidak melakukan yang diharapkan oleh mereka) maka anda bisa tumbuh dewasa memiliki kebutuhan untuk diterima oleh orang lain anda harus mengadopsi perilaku tertentu yang bisa jadi menyebabkan anda tidak menjadi diri anda yang sebenarnya. Supaya masuk ke suatu lingkungan anda belajar untuk memanipulasi diri agar diterima, mendapat perhatian dan juga semacam kasih sayang (baca: dukungan dan perhatian baik dari rekan atau atasan jika di organisasi). Tanpa anda sadari perhatian dan energi anda mengarah kepada bagaimana agar disukai oleh orang lain. Bagaimana menjadi populer dan jangan sampai terpinggirkan atau dikucilkan. Manifestasi yang sering terjadi di leader dengan kesadaran ini adalah menghindari konflik, menunda membuat keputusan sulit (yang harus segera dilakukan tapi ada resistensi lingkungan), suka membuat keputusan yang populer (namun belum tentu sejalan dengan kepentingan organisasi), atau tidak berani berbeda pendapat dengan atasan, cenderung memperhatikan ‘arah angin’.

3. Kesadaran ketiga adalah self esteem.

Kesadaran ini tumbuh seiring dengan keinginan manusia untuk dihargai, dihormati dan merasa bermartabat. Kesadaran ini menekankan pada pentingnya memperoleh approval dari atasan, kelompok, rekan kerja, lingkungan yang berpengaruh. Kesadaran ini mengarahkan energi dan perhatian kita untuk menilai apakah kita merasa ‘berharga’, ‘bagus’ (cantik, tampan, kaya, pintar, pandai), kaya, religius, dihormati, dst. Status dan atribut menjadi sesuatu yang penting dalam tingkat kesadaran ini karena keyakinan bahwa hal itu akan berpengaruh pada penerimaan orang lain atas dirinya. Organisasi yang para pimpinannya terdominasi oleh kesadaran ketiga, menaruh perhatian yang cukup besar atas upaya memperoleh pengakuan “ter….” di industri maupun dunianya. Predikat perusahaan terbaik dalam pemasaran, dalam quality management, dalam customer satisfaction, dst, menjadi salah satu obsesi yang menguras banyak energi para pimpinan untuk mengejarnya. Kekhawatiran atas status dan pengakuan ini secara logis bisa diterima karena sering dikaitkan dengan kepentingan untuk menjaga reputasi dan brand (merk). Efek samping dari tuntutan berlebihan terhadap kebutuhan di kesadaran tingkat ketiga ini berpotensi menimbulkan manipulasi dan kompromi untuk memperoleh predikat dan peringkat. Para leader yang berada pada tingkatan kesadaran ini bisa kita tengarai dari perhatiannya kepada citra perusahaan dan reputasi dirinya. Tidak jarang kepentingan yang lebih besar dari organisasi dan pelanggan menjadi terkorbankan jika para leaders dominan berada pada kesadaran ketiga.

Ketiga tingkat kesadaran yang baru saja kita bahas penting untuk menjaga survival kita sebagai maklhuk hidup yang bersosialisasi. Namun dalam tiga kesadaran itu jika kita didominasi oleh rasa khawatir atau takut yang tidak proporsional, akan menimbulkan respon reaktif yang tidak membantu pertumbuhan kematangan individu maupun kesehatan organisasi. Para leader yang diharapkan mampu membuat keputusan penting menjadi tidak optimal ketika berada dibawah pengaruh “takut’ pada tiga tingkatan kesadaran ini. Kekhawatiran maupun ketakutan yang umum dijumpai di dunia profesional antara lain takut dipersepsi tidak baik, tidak mampu atau tidak kompeten. Ketiga kekhawatiran ini sering menjadi penyebab dari berbagai perilaku negatif (sok tahu, mengklaim prestasi yang bukan miliknya, menjatuhkan orang lain agar dirinya tampak lebih bagus, dst). Impak dari ‘fear’ ini dalam dunia bisnis bisa mendorong terjadinya pemolesan informasi, ketidakjujuran, menyalahkan pihak lain, mencari jalan pintas, dst. Ketakutan atas penilaian kinerja yang kurang baik dan kesempatan karir yang stagnan membayangi banyak perilaku para leader di organisasi untuk membuat keputusan yang risikonya paling kecil dan paling aman. Anda bisa bayangkan kalau dalam organisasi hal-hal yang barusan saya singgung tadi sebenarnya mengokupansi benak dan pikiran para pimpinan. Hal-hal diatas menguras energi para leader. Itu sebabnya mengapa energi suatu organisasi untuk menjadi kreatif dan kompetitif seringkali dierosi oleh kondisi tidak sehat ini yang terjadi di level mindset para pimpinan. Transformasi para leader menuju kesadaran yang lebih tinggi dan mengelola tiga kesadaran pertama merupakan kunci dari keberhasilan pertumbuhan keberhasilan suatu organisasi. Organisasi yang para pimpinannya memiliki hubungan yang sehat dengan ‘fear’ atau rasa takut ini akan beroperasi dengan tingkat kesadaran yang lebih tinggi dan mengembangkan pola respon yang kreatif.

Salah satu inti dari proses transformasi adalah saat tingkat kesadaran individu maupun kolektif organisasi yang bergeser menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Dalam empat tingkat kesadaran yang lebih tinggi, terjadi pergeseran dari dominasi ego dan rasa takut sebagai pengendali di tiga tingkat kesadaran terdahulu, menuju ke jiwa atau soul dan spiritual (bukan religius) sebagai pengendali. Makna dan misi dari setiap apa yang kita niatkan, pikirkan dan lakukan menjadi penting setelah proses pergeseran (shifting) ini. Dasar keyakinan dari keempat tingkat kesadaran selanjutnya adalah rasa penerimaan, memiliki dan tanggungjawab bahwa saya adalah bagian dari kelompok umat manusia yang bersama hidup di muka bumi ini. Saya adalah bagian dari organisasi yang punya misi menyejahterakan komunitas melalui produk dan jasa organisasi saya. Kita adalah sungai-sungai kecil yang pada akhirnya sama-sama bermuara kelautan besar. Pada realitas praktisnya di dunia bisnis kita memerlukan kolaborasi, sinergi, aliansi, dan mengakomodasi kepentingan stakeholder minoritas. Kompetitor juga tidak harus dianggap sebagai lawan yang harus disingkirkan. Dengan sikap ini tidak berarti bahwa kita melupakan kebutuhan untuk mampu mengelola keuntungan ataupun efisiensi proses bisnis. Empat kesadaran atas ini lebih inklusif (mencakupi) dan merupakan bintang navigasi bagi para leader untuk menakhodai kapal perubahan atau transformasi di lautan VUCA.

Kesadaran Transformasi dan Tiga Tingkat kesadaran Atas Mari kita bahas apa saja keempat tingkatan kesadaran yang lebih tinggi:

4. Kesadaran keempat (Kesadaran Transformasi) muncul ketika seseorang ataupun organisasi mulai menyadari bahwa apa yang telah membuatnya sukses dimasa lalu tidak menjadi jaminan untuk masa depan. Kesadaran mulai muncul atas apa yang perlu diperbaiki terhadap dirinya sendiri. Ada keinginan untuk mempertanyakan mindset dan pola pikir dirinya maupun kelompoknya (organisasi). Ada semacam dorongan untuk meninjau kembali keyakinan ataupun asumsi yang selama ini dianggap sudah benar dan dapat digunakan. Ada rasa ingin tahu terhadap kemungkinan kekeliruan atau tidak proporsionalnya sikap, perilaku, keputusan dan tindakan. Kesadaran ini mulai muncul disertai keberanian dan pupusnya resistensi diri untuk keluar dari comfort zone. Pada kesadaran keempat ini kita mulai melihat keterbatasan yang ada dalam diri kita sendiri. Kita mulai menyadari jika ingin tumbuh, berkembang dan sukses tidak bisa mengandalkan apa yang sudah kita miliki (pengetahuan dan pengalaman). Kita bertanya apa proses pembentukan diri kita di masa lalu dari sisi budaya dan lingkungan yang tidak lagi relevan untuk menjadikan diri kita sebagai leader yang adaptif. Kita mempertanyakan kembali asumsi dalam bentuk belief dan value yang mungkin menjadi gembok untuk diri kita tumbuh secara penuh dari potensi kita sebagai leader. Kita mulai bertanya barangkali kita ikut menjadi penyebab suatu keadaan ataupun kejadian yang tadinya kita pikir orang lain yang menjadi penyebabnya. Kesadaran tingkat keempat ini biasanya akan lebih mudah terjadi pada kelompok ataupun mereka yang pada masa pendewasaannya mengalami pendidikan dan kehidupan yang di lingkungannya menyambut keterbukaan. Hambatan untuk masuk ke tingkat kesadaran keempat biasanya terjadi pada mereka yang sudah terindoktrinasi bahwa hanya diri mereka yang paling benar. Pada tingkatan kesadaran ini para leader mencari tahu apa feedback terhadap dirinya. Mereka menyadari pentingnya memberdayakan anggota teamnya. Para leader mulai merasakan bahwa apa yang menjadi pola respon dan kebiasaan anakbuahnya juga merupakan akibat dari caranya memimpin. Para leader di tingkat kesadaran ini mulai menghargai perlunya keseimbangan dalam hidup dan bekerja. Mereka mulai menjadi penganjur kerja smart, menjaga kesehatan, berkolaborasi, berani mengakui kekeliruan, terbuka menerima saran dan perbaikan. Kesadaran keempat merupakan gerbang menuju ke tiga tingkat kesadaran yang lebih atas lagi.

5. Kesadaran kelima (internal cohesion).

Kesadaran kelima merupakan tingkatan dimana seseorang mulai mencari apa makna hidup. Mereka mulai menemukan apa yang menjadi passion diri mereka. Sayang dalam bahasa Indonesia belum ada kata pas terjemahan passion. Passion bukanlah keinginan atau kegemaran ataupun hobi. Passion bisa dikatakan hasrat dari dalam diri untuk melakukan, meraih, menjadi sesuatu yang diinginkan, bermakna dan memberikan semangat bagi hidup seseorang. Pada level kesadaran ini seseorang juga mulai memahami apa maksud alam semesta menempatkan dirinya dalam jabatan, posisi, tugas maupun peran tertentu. Level kesadaran ini membawa seseorang untuk menghubungkan apa yang dilakukannya sebagai respon dalam kehidupannya dengan apa yang menjadi misi dan passionnya. Kesadaran kelima mulai terbuka melalui pengalaman spiritual, pencerahan, terjadinya peristiwa penting yang mulai membawa kesadaran baru mengenai apa makna hidup, berkarya dan berkarir. Dalam kesadaran kelima, jiwa kita sebagai manusia mulai lebih muncul dibanding dengan ego yang berpusat pada kepentingan diri. Organisasi yang pimpinannya berada di tingkat kesadaran kelima tercermin dari tindakan mereka yang menggalang energi untuk mencapai visi dan misi organisasi, mengadopsi nilai-nilai perusahaan dalam keputusan dan tindakan mereka. Lingkungan di organisasi merasakan adanya rasa trust terhadap para pimpinannya. Integritas menjadi sesuatu yang bukan hanya dikatakan tapi memang dilakukan. Pimpinan menjadi transparan, terbuka terhadap kritik, membangun antusiasme ketika berada disekitar teamnya. Mereka menunjukan komitmen terhadap apa yang dinyatakan sebagai tata nilai dan misi perubahaan.

6. Kesadaran keenam (make a difference) Kesadaran keenam ditandai dengan munculnya sikap bahwa kita memerlukan orang, kelompok atau organisasi lain untuk saling bekerjasama mencapai visi misi kita. Kita menjadi sadar bahwa keberadaan kita adalah untuk menciptakan adanya perbedaan yang positif. Nasib masyarakat sekitar menjadi lebih terangkat dengan adanya operasional, produksi jasa dan barang perusahaan kita. Anggota team kita menjadi lebih sehat, bijak, membaik sejak berada bersama didalam pembinaan team kita. Kita sadar bahwa keberadaan kita untuk membawa perubahan ke diri kita sendiri, orang lain dan lingkungan. Kesadaran keenam di organisasi bisa dilihat dari kemauan untuk beraliansi dengan pihak luar. Kita menjadi yakin bahwa untuk tumbuh kita perlu tumbuh bersama dengan lingkungan, para partner atau rekanan usaha. Para pimpinan mengadopsi apa yang disebut servant leader. Bagi mereka, posisi bukan ekivalen dengan dilayani. Mereka justru menempatkan diri ‘melayani’. Kesadaran keenam mendorong para leader memiliki pendekatan coaching dan mentoring. Mereka mempraktekkan kebiasaan memfasilitasi pematangan anakbuahnya dengan bertanya. Mereka membuka jendela pemikiran, mentransfer keahliannya untuk memastikan tunas baru pimpinan akan muncul sesuai waktunya. Team pun mulai terbiasa menjadi apa yang disebut self-managed team atau team yang bisa berinisiatif dan bergerak sendiri tanpa selalu harus diawasi dan diberi instruksi. Kesadaran keenam menuntun pimpinan untuk fokus bagaimana mereka menjadi pribadi yang peduli terhadap lingkungan dan kualitas hidup dari anggota teamnya.

7. Kesadaran ketujuh (Service) Kesadaran ketujuh merupakan kesadaran dimana para leader beroperasi dengan landasan etika dan menjadikan dirinya contoh dari standar etika suatu organisasi. Fokus leader yang memiliki kesadaran di level ini adalah tanggungjawab sosial, kesinambungan, etika, pandangan jangka panjang, kemanusiaan, keadilan sosial, kasih sayang, kesahajaan dan memaafkan. Tingkat kesadaran ini menuntun leader untuk memikirkan bagaimana generasi masa depan akan tumbuh dan melanjutkan misi serta visi mereka. Kesadaran ini merupakan manifestasi dari keyakinan bahwa kita ada di dunia ini untuk ‘melayani’ orang lain. Maksud melayani disini bukan berarti kita lebih rendah karena kata pelayan masih dikonotasikan sebagai pihak yang diupah dan bekerja kepada seorang majikan. Kata ‘melayani’ disini memiliki makna pengabdian kita sebagai bagian dari komunitas di bumi dan umat manusia. Kita menjadi sadar bahwa apa yang kita lakukan terhadap orang lain pada akhirnya akan balik lagi efeknya kediri kita sendiri. Kita menjadi peka terhadap hukum sebab akibat. Kita bukan takut tapi sadar bahwa apa saja yang kita lakukan akan kita pertanggungjawabkan pada akhirnya nanti. Ini membuat diri kita sebagai pemimpin menjadi waspada, peka, hati-hati dalam artian positif, dan mengedepankan pertimbangan kemanusiaan dalam setiap keputusan, sikap dan tindakan.

Transformasi memerlukan perubahan tingkat Kesadaran Transformasi di organisasi hanya akan terjadi manakala para leadernya mengalami perubahan tingkatan kesadaran. Ketika para leader di suatu organisasi memiliki kesadaran tingkatan kesadaran level 1-3 (yang dilandasi rasa khawatir dan takut) maka akan sangat sulit bagi organisasi itu untuk menjadi organisasi yang berisi orang-orang yang mengambil inisiatif, kreatif dan saling bekerja sama. Kesadaran di level 1-3 merupakan pencerminan dari tingkat pengembangan psikologis individu yang masih banyak dipengaruhi oleh ego, rasa takut dan kekhawatiran. Sisi negatif dari kesadaran level 1 adalah ketakutan atas kegagalan, tidak bisa survive dan tidak selamat (jabatan, karir, kenaikan gaji). Untuk jenis pekerjaan yang monoton dan berisi kegiatan sederhana seperti pengepakan barang dipabrik, maka jika diisi oleh orang-orang yang masih ada di kesadaran level 1 tidak terasa impack negatifnya. Sebaliknya ketika organisasi anda sudah beralih menuntut tingkat skill dan mental karyawan yang dapat berinisiatif, berkreasi dan melakukan tugas yang agak kompleks maka anda tidak lagi bisa optimal jika anggota team anda masih berada pada level kesadaran 1-3. Ambil contoh sebuah perusahaan konsultan IT. Type pekerjaan yang dilakukan menuntut kerjasama, keterbukaan, fleksibilitas, pembelajaran, kolaborasi, kecepatan, inisiatif dan belajar dari kekeliruan. Nah anda bisa bayangkan bagaimana jadinya jika para leader di organisasi ini isinya adalah individu yang masih mengutamakan cari selamat, tidak berani berbeda pendapat, melihat dulu situasi angin emosi bosnya baru berani mengatakan pendapat sesungguhnya. Sepandai apapun dari sisi teknis para leader yang mengisi pos pimpinan di organisasi konsultan itu, kalau kesadaran mereka masih berkutat di level survival, ingin diakui kehebatannya, dan takut kehilangan posisi, maka akan sulit kepandaian teknis mereka muncul sebagai sikap, keputusan dan tindakan. Hal inilah yang banyak saya rasakan, saksikan dan alami sendiri mengapa orang-orang kita yang nota bene jago dalam science dan matematika di tingkat akademis di institusi dunia menjadi melempem ketika bekerja di perusahaan di negara maju. Orang kita sulit untuk bersaing mendapatkan posisi di level top manajemen di negara seperti US dan Eropa. Kalaupun ada jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan pendatang India atau Singapura misalnya. Salah satu hal yang saya rasakan sebagai penghambat adalah karena pola pendidikan dan pola asuh kita sejak kecil. Dengan pendidikan yang paternalistik, submisif, hirarkis senioritas dan guru selalu benar sulit bagi kita untuk berkompetisi menghasilkan leader di korporasi tingkat global. Perusahaan multinasional yang berada di Indonesia juga sering mengeluhkan sulitnya mencari orang yang berkarakter kuat, berani mengambil inisiatif, terbuka dan kreatif. Pendidikan dasar kita sayangnya kurang memfasilitasi untuk mendevelop kita menuju kesana. Menurut Bruce Lipton, pakar biologis keyakinan, masa satu sampai tujuh tahun merupakan pemrograman diri yang akan membedakan kita menjadi orang yang memiliki kesadaran level keempat sampai ketujuh atau terkungkung di level satu sampai ketiga. Sayangnya pendidikan kita di masa ini jauh dari menghasilkan kemandirian dan kedewasaan. Masa kecil kita tumbuh dengan pendekatan yang isinya berupa ancaman dan ketakutan. Kalau tidak melakukan ‘ini’ ancamannya ‘itu’. Kalau kamu tidak begini akan berakibat begitu. Yang ditonjolkan lebih banyak hukuman dan konsekuensi negatif. Akibatnya secara nasional kita memiliki leader yang memimpin tapi keputusan dan tindakannya rata-rata merupakan hasil jajahan rasa takut (takut kehilangan jabatan, takut tidak memiliki harta cukup untuk keturunannya, takut kehilangan kesempatan, takut tidak dianggap, takut dipersepsi tidak kompeten, takut tidak diberi kepercayaan lagi, takut ditinggalkan pengikut, takut tidak populer, takut tidak didukung, dst). Tantangan kita bersama untuk membangun para leader yang lebih kuat adalah dengan mengubah spektrum tingkat kesadaran para leader sehingga mereka lebih menyeluruh berada di spektrum level satu sampai ketujuh. Ini berarti kita perlu membawa mereka untuk melepas dari zona nyaman dan melatih diri untuk mengelola kesadaran yang masih dikendalikan rasa ‘takut’ yang selama ini membelenggu potensial leadership mereka.

Copyright by Leksana TH

leksanath@hotmail.com

www.sscleadership.com


Featured Posts
Recent Posts
Search By Tags
No tags yet.
Follow Us
  • Facebook Classic
  • Twitter Classic
  • Google Classic
bottom of page