KETIDAKADILAN SAAT INI: Memimpin Ketika Pijakan Mengalami Shifting
- Leksana TH

- 25 Agu
- 8 menit membaca
Diperbarui: 2 hari yang lalu
"Ini tidak adil."
Empat kata ini mungkin adalah reaksi paling manusiawi terhadap kehilangan. Kita membisikkannya saat pengumuman restrukturisasi mendarat di kotak masuk email kita pada Jumat sore. Kita merasakannya saat negara tempat kita membangun kehidupan memperketat aturan visanya, mengingatkan kita bahwa terlepas dari jabatan dan pajak yang kita bayar, kita hanyalah tamu. Kita memikirkannya saat menyadari bahwa struktur organisasi semakin mendatar, dan anak tangga karier yang baru saja kita capai sedang disingkirkan.
Kata-kata itu adalah mekanisme pertahanan spontan dari semangat yang mencoba mempertahankan realitas yang sudah tidak ada lagi.
Selama dua dekade terakhir, jalurnya terlihat jelas: Bekerja keras, raih keahlian, menaiki tangga karier, dan kumpulkan status. Namun hari ini, lapisan "tengah" sedang runtuh. Kita sedang menyaksikan "pemangkasan lapisan" (delayering) dalam organisasi, di mana pekerjaan berat manajemenāpengawasan, koordinasi, pelaporanādiserahkan kepada algoritma atau diratakan hingga tidak ada lagi.
Dalam sebuah sesi coaching baru-baru ini, seorang klien bernama Sonia membawa pergulatan ini ke dalam fokus yang tajam. Di permukaan, tantangannya bersifat fisikāsaraf kejepit yang menghentikannya melakukan latihan intensitas tinggi yang ia cintai. Namun, di balik keterbatasan fisik tersebut terdapat pergulatan sistemik mendalam yang mencerminkan apa yang sedang dihadapi oleh manajer tingkat menengah dan atas saat ini.
Sonia adalah seorang "pembalik ban" (tire flipper). Ia mendefinisikan dirinya berdasarkan kapasitasnya dalam menangani intensitas. Dialah orang yang mampu menembus hal-hal sulit. Kemudian, dalam momen yang "mengejutkan" dirinya, kapasitas itu terenggut. Ia tertinggal menatap lanskap baru, bertanya-tanya: Jika saya tidak bisa lagi melakukan pekerjaan berat (heavy lifting), siapa saya?
Entah itu tubuh yang tidak mau bekerja sama, atau jalur karier yang tiba-tiba menguap karena AI dan pemangkasan biaya, perasaannya sama: Aturannya telah berubah, dan saya sedang berduka atas sosok diri saya yang dulu.
I. Panggilan Kesadaran: Himpitan pada Lapisan Tengah
Setiap transformasi dimulai dengan sebuah retakan. Ini adalah sinyal bahwa cara lama sudah berakhir. Bagi Sonia, ini bukanlah sebuah shiftĀ yang halus; ini adalah penghentian fisik. Ia menggambarkan riwayat yang penuh semangat: "Saya dulu sering melakukan banyak latihan HIIT... membalik ban... Saya juga dulu menari". Identitasnya terbungkus dalam gerak, kekuatan, dan persahabatan dengan "pelatih-pelatih hebat".
Kemudian datanglah panggilan kesadaran itu. Dimulai sebagai "rasa sakit di area berbeda," yang memuncak pada diagnosis saraf kejepit. Tingkat keparahannya mengejutkan; ia mendapati dirinya dalam posisi di mana ia "bahkan tidak bisa mengikat tali sepatu".
Bagi pemimpin modern, "saraf kejepit" ini terlihat berbeda, tetapi terasa sama melumpuhkannya. Ini muncul sebagai Himpitan Senyap (The Silent Squeeze):
Hilangnya Otoritas:Ā Anda adalah seorang manajer atas, tetapi pengambilan keputusan kini disentralisasi oleh dasbor data atau didesentralisasi ke tim-tim agile. Anda terhimpit dari kedua sisi.
Ketidakpastian "Ekspatriat":Ā Anda telah membangun karier di pusat global, hanya untuk mendapati bahwa kebijakan lokalisasi semakin ketat. Tanah di bawah pijakan Andaāizin tinggal Anda, stabilitas anak-anak Andaātiba-tiba terasa rapuh.
Disrupsi AI:Ā Anda menghabiskan dua puluh tahun menguasai domain teknis. Sekarang, seorang rekan junior dengan Large Language ModelĀ dapat menghasilkan 80% dari outputĀ Anda dalam 10% waktu. "Pekerjaan berat" yang dulu Anda banggakan tidak lagi menjadi keterampilan premium.
Sonia mencatat, "Saya tidak pernah benar-benar kembali berolahraga seperti dulu". Ini adalah kebenaran pahit yang dihadapi banyak pemimpin: Pasar tidak akan kembali. Struktur kerja telah mengalami shiftĀ permanen.
Kita melihat tanda-tandanya. Kita merasakan "sakit di area berbeda"āpemotongan anggaran, pembekuan rekrutmen, pengucilan halus dari pertemuan strategis. Namun seringkali, kita menyalahartikannya. Kita berpikir, Saya hanya perlu bekerja lebih keras. Saya hanya perlu bertahan kuartal ini.Ā Kita memperlakukan shiftĀ sistemik ini sebagai gangguan sementara. Namun seperti yang disadari Sonia, ini adalah "perkembangan baru" yang menuntut respons baru.
II. Kesadaran: "Saya Tidak Bisa Melakukan Itu Lagi"
Setelah krisis akut mereda, realitas kronis mulai menetap. Ini adalah fase Perbandingan dan Frustrasi. Sonia menggambarkan siklus menyakitkan saat melihat dunia luar dan mengukur ketidakmampuannya saat ini terhadap hal tersebut. Ia membuka media sosial dan melihat orang-orang "melakukan semua hal berbeda yang dulu biasa saya lakukan". Kesadaran itu menghantamnya dengan keras: "Saya benar-benar tidak bisa melakukan itu lagi".
Bagi manajer berkinerja tinggi, ini adalah "Celah Duka" (Gap of Grief). Ini adalah celah antara status yang Anda pikir seharusnya Anda miliki dan realitas pengaruh Anda saat ini. Anda melihat LinkedIn dan melihat rekan-rekan melakukan pivotingĀ dengan mudah (atau setidaknya terlihat demikian). Anda melihat para pemimpin yang lebih muda beradaptasi dengan kekacauan "dengan mudah", sementara Anda merasa terbebani oleh kompleksitas sistem lama (legacy systems) dan ekspektasi yang sudah usang.
Sonia mengakui kecemasan mendalamnya: "Saya tidak ingin berat badan naik dan... mulai mengalami hal-hal negatif". Ia takut akan "spiral penurunan" (downward spiral).
Ini adalah ketakutan tersembunyi dari pengalaman korporat "Living the Edge": Menjadi tidak relevan. Ketakutan bahwa jika kita berhenti "membalik ban" (bekerja 60 jam, memadamkan masalah mendesak, menjadi pahlawan), kita akan "naik berat badan" (menjadi lamban, usang, dan terbuang). Sonia merasakan ketidakadilannya. "Saya sudah selesai mengatakan, Hei, ini tidak adil," katanya kepada saya. Namun sentimen itu tetap ada. Ia bersikeras, "Bukan berarti saya malas atau semacamnya".
Pembelaan iniāsaya tidak malasāadalah mantra dari manajer yang mengalami kelelahan mental (burnout). Kita bekerja semakin keras untuk membuktikan nilai kita, tanpa menyadari bahwa definisi nilai telah berubah. Seperti yang diingatkan oleh teori Adult DevelopmentĀ dari Robert Kegan:
Krisis kepemimpinan saat ini bukanlah krisis keterampilan, melainkan krisis identitas. Kita diminta untuk melepaskan 'diri' yang tahu cara menang, untuk memberi ruang bagi 'diri' yang tahu cara beradaptasi.

III. Konflik Internal: Bagian-Bagian dari Diri
Mengapa penerimaan dalam diri begitu sulit? Mengapa Sonia tidak bisa begitu saja berkata, "Oke, saya akan berjalan kaki, bukan berlari"? Mengapa seorang Direktur tidak bisa begitu saja berkata, "Oke, saya akan membimbing orang lain atau tim, bukan melakukan eksekusi sendiri"?
Untuk memahami hal ini, kita harus melihat bagian-bagian berbeda dari diri kita yang mengatur cara kita berpikir dan merespons. Pergulatan Soniaādan juga pergulatan Andaāadalah perang saudara antara bagian-bagian internal ini.
1. Sang Manajer (Sang Ahli Strategi/Pemecah Masalah)
Bagian dari diri Anda ini ingin menyelesaikan masalah untuk mempertahankan kendali. Inilah bagian yang berkata, "Saya tidak malas". Untuk meredam kecemasan akan "spiral penurunan", bagian Manajer ini segera bertindak. Bagi Sonia, Sang Manajer membeli sebuah solusi: sepeda baru. "Saya baru saja membeli sepeda yang saya lihat sangat keren... Ini seperti sepeda eliptis yang bisa digunakan di luar ruangan". Sang Manajer menyukai strategi ini. Ia berkata kepada Sonia, "Lihat? Kamu masih aktif. Kamu berkeringat".
Dalam konteks korporat, ini adalah pemimpin yang, saat menghadapi ketidakpastian mendalam, membeli alat produktivitas baru, melakukan reorganisasi tim lagi, atau mendaftar kursus MBA umum. Ini adalah upaya panik untuk melakukan sesuatuĀ demi membuktikan bahwa kita masih relevan dalam permainan.
2. Sang Terasing (Sang Penduka)
Jauh di lubuk hati, terkubur di balik kesibukan, terdapat bagian rentan yang menanggung rasa kehilangan. Sonia mengakui bahwa "sebagian dari diri saya, sepertinya, telah hilang". Bagian ini merindukan koneksi, hubungan, dan "tantangan" dari kehidupan lama. Sang Manajer membeli sepeda (atau softwareĀ baru) justru untuk membuat Sang Terasing ini tetap diam. Untuk menahan kesedihan atas apa yang sedang hilang dari kita.
3. Sang Kritikus (Sang Pembanding)
Bagian ini melihat pasar dan berbisik, "Orang lain sudah memahaminya, kecuali kamu." Ini menghasilkan rasa malu dan perasaan bahwa usaha Anda saat ini "biasa saja".
Konflik internal muncul karena Sang Manajer (strategi sepeda) mencoba mengabaikan Sang Terasing (rasa duka). Sonia mencoba meyakinkan saya bahwa sepeda itu adalah jawabannya. Ia mengklaim, "Saya merasakan emosi positif saat menggunakannya". Namun saat saya mendengarkan, saya tidak bisa mempercayainya. Saya berkata kepadanya, "Benar. Itu kata-kata yang bagus, tetapi itu bukan sesuatu yang Anda yakini".
Di sinilah banyak pemimpin senior terjebak saat ini. Mereka menggunakan strategi (sepeda) untuk berpura-pura bahwa mereka masih bisa "membalik ban". Namun seperti yang disarankan oleh Theory UĀ mengenai pola respons kita:
Kita tidak bisa menyongsong masa depan dengan mengunduh pola-pola masa lalu. Ketika kita menggunakan kesibukan untuk mematikan rasa duka kita, kita tidak menyelesaikan masalah; kita hanya menunda kedatangan kita pada kebenaran.

IV. Dialog: Bergerak dari Strategi Menuju Jiwa
Transformasi membutuhkan disrupsi pada narasi internal. Dalam sesi coachingĀ kami, disrupsi itu datang ketika kami menolak untuk berfokus pada sepedanya dan justru berfokus pada orang yang mengendarainya. Pertanyaan Cermin (The Mirror Question) Pada satu titik, sebuah pertanyaan reflektif diajukan kepada Sonia. Pertanyaan itu tentang apa yang bisa ia lihat dari dirinya di cermin. Pertanyaan ini memotong jalur strategi dan berbicara langsung pada kerentanan. Sonia mengakui bahwa ia tidak obesitas, tetapi ia tidak berada dalam "kondisi optimal" di mana ia merasa luar biasa. Ini menyingkap celah antara realitas dan citra dirinya.
Strategi vs. Penerimaan Saya dengan lembut menantang alasan perlunya "sepeda" itu. Ketika Sonia berargumen bahwa ia bisa menemukan alternatif, saya menolaknya: "Poin saya... adalah bahwa sekadar mencari alternatif bukanlah inti masalahnya di sini. Intinya adalah membuat Anda menerima bahwa inilah posisi Anda saat ini". Saya mengidentifikasi bahwa pencariannya akan alternatif adalah sebuah "alasan positif" untuk menghindari pekerjaan dalam diri (inner work) yang sebenarnya.
Menamai Rasa Duka Terobosan terjadi ketika kami memberikan nama pada perasaan tersebut. Saya membagikan pengamatan saya: "Ini terdengar seperti proses berduka dalam beberapa hal". Inilah kuncinya. Sonia selama ini memperlakukan situasinya sebagai masalah logistik (Saya butuh latihan baru), padahal itu sebenarnya adalah masalah emosional (Saya sedang berduka atas identitas lama saya). Sonia akhirnya mengakui: "Saya tahu itu adalah proses berduka, tetapi saya tidak menyadari betapa signifikannya hal itu". Ia menyadari bahwa kehidupan lamanya adalah "bagian buku yang harus saya tutup".
Ini adalah titik putar (pivot point) bagi setiap pemimpin yang menghadapi "Tepian" (Edge). Anda tidak bisa menggunakan strategi untuk keluar dari krisis identitas. Anda harus berduka atas pemimpin yang dulu pernah menjadi diri Andaāsosok yang mengetahui semua jawaban, sosok yang mengendalikan semua variabelāsebelum Anda bisa menjadi pemimpin yang dibutuhkan masa depan.
V. Narasi Baru: Memimpin dari Tepian (The Edge)
Jadi, bagaimana kita bergerak dari "ketidakadilan saat ini" menuju masa depan yang baru? Bagaimana kita menjalani "Living the Edge" tanpa terjatuh?
Fase terakhir dari perjalanan Sonia menawarkan peta jalannya. Untuk menavigasi ini, kita harus melihat Tingkat Kesadaran (Levels of Consciousness) yang dijelaskan oleh Richard Barrett:
Selama nilai diri Anda terikat pada 'pekerjaan berat' (heavy lifting), Anda rentan terhadap disrupsi. Ketika Anda menambatkan nilai diri Anda pada 'presence,' Anda menjadi mata badai, bukan puing-puing yang tersapu di dalamnya.

1. Dari DoingĀ ke BeingĀ (ShiftĀ dalam Nilai)
Sonia menyadari bahwa ia merindukan latihan fisik bukan hanya karena pembakaran kalorinya, tetapi karena "hubungan" dan "koneksi". Ini adalah shiftĀ esensial bagi manajer modern. AI bisa melakukan analisis. Perangkat lunak bisa melakukan pelacakan. Nilai Anda tidak lagi terletak pada "doing" (membalik ban). Nilai Anda ada pada Beingākoneksi, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk memberi ruang (hold space) bagi orang lain di tengah kekacauan. "The Edge" adalah tempat di mana kita berhenti mengandalkan keterampilan teknis dan mulai mengandalkan kedalaman manusiawi.
2. Menciptakan Komitmen Baru
Saya bertanya kepada Sonia: "Jadi, bagaimana rasanya menciptakan komitmen baru, hubungan baru, dan tantangan baru?". Sonia bisa melihat ini sebagai "sesuatu yang positif dan sesuatu yang dinanti-nantikan". Ini bukan tentang mencari alternatif yang "lebih rendah". Ini tentang menemukan kendaraan yang berbeda untuk nilai-nilai Anda. Sepeda eliptis, yang sebelumnya merupakan alat penyangkalan, kini bisa menjadi alat kesehatan yang tulusātetapi hanya setelah rasa duka itu diproses. Bagi manajer, ini berarti menemukan cara-cara baru untuk memimpin. Mungkin Anda bukan lagi "pakar di dalam ruangan," tetapi Anda menjadi "fasilitator inteligensi." Anda berhenti memberi komando dan mulai mengorkestrasi.
3. Menerima "Apa Adanya" sebagai Satu-satunya Fondasi
Inteligensi Sistemik mengajarkan kita bahwa Anda hanya bisa membangun di atas kebenaran. Selama Sonia berpura-pura bahwa ia bisa "perlahan tapi pasti kembali ke kondisi dulu", ia sedang membangun di atas fantasi. Hal itu merugikannya dengan "ketidaknyamanan dan rasa sakit". Begitu ia menerima "Saya harus melepaskannya", ia mendarat di tanah yang kokoh.
4. Keberanian untuk Meminta Bantuan
Para pemimpin sering kali kesepian. Kita merasa harus memikul beban sendirian. Sonia menyadari ia membutuhkan bantuan dari mereka yang "benar-benar bisa memaklumi dan mengerti"āmungkin mantan pelatih, atau komunitas rekan sejawat. Ini adalah esensi dari program seperti Living the Edge. Ini adalah pengakuan bahwa Anda tidak dapat menavigasi tingkat kompleksitas ini dalam isolasi. Anda membutuhkan ruang di mana Anda tidak perlu berpura-pura masih membalik ban.
The EdgeĀ adalah Titik Pandang
Kisah Sonia sebenarnya bukan tentang olahraga. Ini adalah perumpamaan bagi kepemimpinan di era disrupsi.
Dunia kerja yang kita kenal sedang putus seperti filamen bola lampu. Asapnya mulai mengepul. Kita punya dua pilihan.
Kita bisa menjadi seperti bagian "Manajer" dalam jiwa kita: panik, membeli alat-alat baru, memasang wajah tegar, bersikeras "Ini tidak adil," dan mencoba mereplikasi masa lalu di dunia yang sudah bergerak maju. Kita bisa mencoba membalik ban tak kasat mata yang sudah tidak ada lagi.
Atau, kita bisa berhenti. Kita bisa mengakui Retakan itu. Kita bisa merasakan Duka itu. Kita bisa menghentikan Perbandingan itu.
Ketika kita berhenti berdebat dengan realitas, kita menemukan bahwa "The Edge" bukanlah tebing tempat kita jatuh. Itu adalah titik pandang. Itu adalah tempat dengan perspektif tinggi. Dari sini, tanpa terbebani oleh pekerjaan berat masa lalu, kita bisa melihat cukup jelas untuk memetakan jalur baru.
Apakah Anda siap untuk berhenti melawan realitas lama dan mulai memimpin realitas yang baru?
________________________________________________________________________________________________________ Leksana TH



