top of page

BUDAYA TIDAK BERUBAH MELALUI SISTEM: Apa yang sering terabaikan oleh HR dan para CEO

  • Gambar penulis: Leksana TH
    Leksana TH
  • 11 Okt
  • 8 menit membaca

Diperbarui: 2 hari yang lalu

Bagian 1 dari 2 Sebuah Adegan Singkat yang Terlalu Sering Terjadi

Saya sudah sering duduk di banyak ruang rapat direksi di Asia Tenggara, di mana suasananya terasa penuh optimisme yang semu. Tim HR mempresentasikan siklus manajemen kinerja baru yang dirancang dengan begitu apik. Slide presentasinya dipoles sempurna. Prosesnya terlihat logis. KPI diperketat. Arsitektur talentanya jelas. CEO mengangguk tanda setuju. Dan tim kepemimpinan menyepakatinya dengan antusias. Semua orang keluar dari ruangan dengan keyakinan bahwa transformasi telah dimulai.

Namun beberapa bulan kemudian, tak ada yang berubah. Atau jika pun ada perubahan, itu tidak bertahan lebih dari satu tahun setelah serah terima program dilakukan.

Para manajer mengeluh bahwa sistem baru ini hanya menambah beban administrasi. Karyawan mengatakan ini hanyalah percakapan lama yang dibungkus dalam templat baru. Para pemimpin mengisi formulir, namun tetap ragu untuk memberikan umpan balik yang jujur. Poster nilai-nilai perusahaan di dinding terasa tidak sejalan dengan perilaku sehari-hari.


Dan HR diam-diam merasakan sesuatu yang belum bisa mereka namai: sistemnya secara teknis sudah benar, namun transformasinya tidak 'bernyawa'. Saya telah melihat pola ini di Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, Ho Chi Minh City — di mana saja.

Dan hal ini menyingkap sebuah kebenaran yang lebih mendalam, yang sebenarnya sudah dirasakan oleh banyak pemimpin HR: Budaya tidak berubah melalui sistem. Budaya berubah melalui kesadaran, hubungan, dan kehadiran kepemimpinan. Sistem memang penting. Namun, sistem tidak dapat mentransformasi apa yang belum bertransformasi di dalam diri manusianya.



I. Pemimpin HR Sudah Melakukan yang Terbaik — Namun Mereka Tidak Mendapat Dukungan yang Sepadan dengan Beratnya Tugas Mereka


Izinkan saya mengawalinya dengan rasa hormat yang mendalam.

HR memegang salah satu peran paling rumit dan sering kali kurang diapresiasi dalam organisasi mana pun. Anda dituntut untuk:

  • Merancang sistem yang menyenangkan hati CEO

  • Melindungi perusahaan secara hukum

  • Mengembangkan para pemimpin

  • Mengelola konflik kinerja

  • Mendorong perubahan budaya

  • Menjadi kompas moral

  • Dan menjaga semua orang tetap senang


Ini adalah mandat yang mustahil.

Dan di Asia, tekanan ini diperberat oleh norma-norma budaya: rasa hormat pada otoritas, ketakutan akan konfrontasi, keengganan untuk menantang CEO, serta hasrat yang kuat untuk menjaga keharmonisan.


Para profesional HR dalam konteks ini tidak hanya sedang mengelola sistem — mereka sedang mengelola pengondisian sosial yang telah berlangsung berabad-abad.

Maka, ketika seorang pemimpin HR merasa buntu, kewalahan, atau tak berdaya untuk mendorong perubahan budaya, ini bukanlah kegagalan pribadi.


Ini adalah sebuah realitas sistemik.

Artikel ini adalah sebuah undangan untuk melihat lebih dalam di balik realitas tersebut.


II. Masalah Mendasarnya: Sistem yang Sempurna, Kesiapan Batin yang Belum Memadai


Sebagian besar pemimpin HR sangat terlatih dalam:

  • Struktur organisasi

  • Manajemen kinerja

  • Desain kompensasi

  • Hukum ketenagakerjaan

  • Manajemen talenta

  • Asesmen psikologis

  • Kerangka kerja pembelajaran dan pengembangan (L&D)


Keahlian teknis ini memang penting.

Namun, inilah yang diam-diam diakui oleh banyak pemimpin HR progresif saat kami berbicara secara pribadi:

"Saya tahu cara merancang sistemnya. Saya hanya tidak mengerti mengapa orang-orang tidak berubah."

Untuk menjawab itu, kita perlu melihat hakikat dari transformasi itu sendiri.


Peter SengeĀ mengingatkan kita:

"Setiap sistem dirancang secara sempurna untuk mencapai hasil yang persis seperti yang dihasilkannya saat ini."

Artinya: Jika para pemimpin dan tim masih berperilaku sama setelah adanya perubahan sistem, itu karena sistem yang lebih dalam — sistem manusianya — belum berubah.


Otto Scharmer (Theory U)Ā mengatakan bahwa transformasi menuntut para pemimpin untuk mengembangkan cara pandangĀ (way of seeing) mereka — bukan hanya cara kerjaĀ (way of doing) mereka.


Robert KeganĀ menunjukkan bahwa orang dewasa beroperasi dari tahapan pemaknaan (meaning-making) yang berbeda-beda, dan sebagian besar sistem organisasi tidak menyentuh kedalaman yang diperlukan untuk menggeser model mental yang mendasari perilaku orang-orang tersebut.


Richard BarrettĀ mengingatkan kita bahwa budaya mencerminkan kesadaran — terutama kesadaran dari mereka yang memimpin sistem tersebut.


Dalam praktiknya, ini berarti: Anda tidak bisa mewujudkan transformasi budaya hanya lewat perancangan (design). Anda hanya bisa mewujudkannya lewat pengembangan (develop).

Dan sebagian besar pemimpin HR, bukan karena kesalahan mereka sendiri, belum pernah dipandu untuk berkembang hingga ke tingkat kedalaman yang diperlukan tersebut.


Tantangan eksternalĀ (the outer game) dalam memimpin di tengah kompleksitas tidak akan bisa dimenangkan, jika kapasitas batinĀ (the inner game) Anda belum 'naik kelas'
Tantangan eksternalĀ (the outer game) dalam memimpin di tengah kompleksitas tidak akan bisa dimenangkan, jika kapasitas batinĀ (the inner game) Anda belum 'naik kelas'

III. Mengapa HR Memahami Manusia — Namun Sering Kali Tak Mampu Mengubah Mereka


Banyak pemimpin HR berlatar belakang psikologi. Ini adalah sebuah kekuatan — sekaligus keterbatasan. Psikologi mengajarkan analisis, klasifikasi, dan pemahaman akan sifat-sifat individu.


Namun perubahan budaya bukanlah sesuatu yang bersifat psikologis. Ia bersifat sistemik.

Budaya bukanlah sekadar jumlahan dari kepribadian individu. Budaya adalah medan tak kasat mataĀ (invisible field) yang tercipta oleh:

  • Kesadaran kepemimpinan

  • Sejarah organisasi

  • Struktur kekuasaan

  • Trauma kolektif

  • Aturan-aturan tak tertulis

  • Arus emosi di bawah permukaan

  • Percakapan sehari-hari

  • Apa yang ditakuti orang

  • Apa yang dihargai dan diberi imbalan


Anda tidak bisa mengubah sistem seperti ini hanya dengan menganalisisnya. Anda harus bekerja di dalamnya.


Hal ini menuntut modalitas dan kapasitas yang jarang diajarkan oleh akademisi HR pada umumnya:

  • Konstelasi sistemik (Systemic constellations)

  • Kerangka kerja perkembangan orang dewasa (Adult development frameworks)

  • PresencingĀ (Theory U)

  • Kesadaran akan trauma kolektif

  • Kesadaran nilai (Values consciousness)

  • Deep coaching

  • Kehadiran energi kepemimpinan (Energetic leadership presence)

  • Fasilitasi medan kelompok (Group field facilitation)

  • Pengembangan kepemimpinan yang menubuh (Embodied leadership)

  • Kepemimpinan adaptif

  • Dinamika organisasi


Ini bukanlah alat yang sifatnya sekadar "pelengkap" (nice-to-have). Ini adalah mekanisme nyata dari sebuah transformasi.


Tanpa itu semua, pemimpin HR akan merasa seperti ini: "Saya bisa merancang sistem HR yang sempurna, tapi sepertinya saya tidak bisa membuat orang-orang menghidupinya."


Ini bukan masalah kompetensi. Ini adalah kesenjangan perkembanganĀ (developmental gap). Dan kesenjangan ini semakin melebar seiring organisasi menghadapi:

  • Kompleksitas yang semakin tinggi

  • Tenaga kerja lintas generasi

  • Tantangan kolaborasi hibrida

  • Kelelahan mental (burnout)

  • Restrukturisasi yang terus-menerus

  • Terkikisnya kepercayaan

  • Kepemimpinan yang digerakkan oleh rasa takut

  • Trauma organisasi yang tak terselesaikan

Dunia telah berubah. Namun cara HR dilatih belum berubah.


Memahami framework kepemimpinan dan menjiwainya adalah perbedaan yang sangat besar antara tahu dan mampu melakukannya dalam konteks memimpin perubahan.
Memahami framework kepemimpinan dan menjiwainya adalah perbedaan yang sangat besar antara tahu dan mampu melakukannya dalam konteks memimpin perubahan.

IV. Di Asia, Sebuah Kendala Tersembunyi: HR Kesulitan 'Mengelola ke Atas'


Inilah sesuatu yang jarang diucapkan secara terbuka — namun dirasakan oleh hampir setiap pemimpin HR di Asia Tenggara:

HR bersuara lantang ke bawah, namun sangat pelan ke atas.


Karena dalam organisasi-organisasi di Asia:

  • Kekuasaan terpusat pada CEO

  • Ketidaksetujuan dianggap sebagai ketidaksopanan

  • HR sering kali diposisikan hanya sebagai fungsi "pendukung" (support)

  • Konflik dihindari (main aman)

  • Tugas HR ditafsirkan sebagai "penjaga keharmonisan"

  • Risiko politik itu nyata (terutama jika berbeda pendapat)

  • Menantang CEO (beda pendapat) bisa mengakhiri karier Anda

Maka HR menjadi sekadar pembawa pesanĀ dari keinginan CEO — bukan penantang strategisĀ bagi titik buta CEO.

Ini bukan salah HR. Ini adalah pengondisian budaya.


Namun konsekuensinya serius: Anda tidak bisa memimpin transformasi budaya jika Anda tidak bisa menantang sang pemegang kunci budaya — yaitu CEO.

Banyak pemimpin HR tahu persis di mana letak masalahnya:

  • Reaktivitas emosional CEO

  • Para pemimpin senior yang menghindari akuntabilitas

  • Ketimpangan kekuasaan

  • Pengambilan keputusan yang didasari rasa takut

  • Pertarungan politik terselubung

  • Ketidakselarasan antara nilai dan tindakan

  • Pemimpin yang menolak umpan balik

  • Sistem imbalan yang bertentangan dengan nilai yang dinyatakan


Tapi mereka tidak bisa mengatakannya. Maka sistem pun jadi tetap sama.



V. Lansekap Dalam Diri (Batin) yang Tersembunyi pada Pemimpin HR


Sebagian besar pemimpin HR yang saya coach mengatakan hal yang kurang lebih mirip kepada saya:

"Saya lelah terus-menerus menjadi pemadam kebakaran." "Saya merasa melakukan semuanya sendirian." "Saya tahu apa yang perlu diubah, tapi saya tidak bisa mendapatkan dukungan (buy-in)." "Saya takut dianggap terlalu emosional atau terlalu lunak." "Saya harus terlihat kuat, bahkan saat saya merasa kewalahan." "Saya ingin menciptakan dampak nyata — bukan sekadar menjalankan proses."


Pengakuan-pengakuan ini mencerminkan sebuah kebenaran yang lebih dalam: Sebagian besar profesional HR masih beroperasi dari kesadaran bertahan hidup (survival consciousness).

Bukan karena mereka lemah — melainkan karena sistemlah yang mendesak mereka ke sana.

Tingkatan kesadaran Richard BarrettĀ menggambarkan hal ini dengan baik:

  • Level 1: Keamanan — "Saya harus bertahan hidup."

  • Level 2: RelasiĀ / Hubungan — "Saya harus disukai."

  • Level 3: Harga Diri — "Saya harus terlihat kompeten."


Ketika pemimpin HR terjebak di level-level ini, mereka:

  • Menghindari bicara jujur kepada atasan

  • Memprioritaskan menyenangkan hati CEO

  • Terus bekerja secara berlebihan (overdrive)

  • Melakukan kompensasi berlebih dengan banyak kerangka kerja dan program

  • Kesulitan menetapkan batasan

  • Mencari validasi eksternal

  • Takut dianggap 'terlalu menantang'


Ini bukanlah kegagalan moral. Ini adalah realitas perkembanganĀ (developmental reality).

Dan Anda tidak bisa memfasilitasi kesadaran yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi jika Anda sendiri masih bergulat dengan kesadaran bertahan hidup dalam diri Anda.

Inilah sebabnya mengapa pengembangan dalam diri (inner development) bukanlah sebuah kemewahan. Ia adalah prasyarat mutlak.



VI. Mengapa Transformasi Butuh Lebih dari Sekadar Sistem:


Sistem Adalah Tentang Manusia Sebelum Menjadi Struktur.

Kebenarannya: Sistem HR bersifat struktural. Budaya bersifat relasional.

Sistem memang bisa membentuk perilaku — tapi hanya jika orang-orang di dalamnya memiliki kesiapan dalam diri untuk mengadopsinya.


Izinkan saya memberikan metafora sederhana: Sebuah sistem ibarat partitur musikĀ (musical score) yang dirancang dengan indah. Namun tanpa musisi yang telah melatih kepekaan batin (dalam diri), tempo (timing), dan ekspresi emosional mereka, musiknya akan selalu terdengar mekanis.


Budaya adalah musiknya. Para pemimpin adalah musisinya. Sistem HR adalah partiturnya.

Ketika para pemimpin tidak memiliki:

  • Kematangan emosional

  • Kesadaran sistemik

  • Kedalaman perkembangan diri

  • Kecerdasan relasional

  • Kerendahan hati

  • Kehadiran (presence)

  • Keberanian

  • Ketenangan batin

  • Kepedulian yang tulus

Maka tidak ada satu sistem pun yang bisa membuat mereka "bermain" dengan cara yang berbeda.



VII. Catatan Samping: Apa Itu 'Systemic Constellation Work'?


Banyak pemimpin HR di Asia penasaran tentang constellations, namun tidak yakin apa itu sebenarnya.

Berikut adalah penjelasan paling sederhana dan non-teknis: Konstelasi SistemikĀ (Systemic Constellations) menyingkap dinamika tersembunyiĀ dalam sebuah organisasi yang tidak bisa dilihat oleh analisis biasa.


Sebuah sesi konstelasi dapat dengan cepat memunculkan ke permukaan:

  • Dinamika kekuasaan yang tak terucap

  • Peristiwa masa lalu yang memengaruhi perilaku saat ini

  • Loyalitas dan aturan-aturan tak kasat mata

  • Arus emosi di bawah permukaan

  • Konflik yang takut diucapkan oleh orang-orang

  • Titik buta kepemimpinan

  • Sumbatan sistemik

  • Ketidakselarasan

  • Keterikatan energi (energetic entanglements)

  • Prioritas yang saling bertentangan

  • Kurangnya rasa aman psikologis


Dalam 20 menit, sebuah konstelasi bisa mengungkapkan apa yang mungkin butuh waktu berbulan-bulan untuk ditemukan oleh konsultan biasa.

Metode ini tidak menggantikan sistem HR. Metode ini melengkapinya.

Karena sistem bekerja pada ranah yang terlihat, sementara konstelasi bekerja pada ranah yang tak terlihat — bagian dari sistem yang sesungguhnya menggerakkan perilaku.


VIII. Sebuah Kebenaran yang Diketahui Banyak Pemimpin HR Namun Jarang Dikatakan


Di seluruh Asia Tenggara, sesuatu yang menarik sedang terjadi:

Banyak pemimpin HR bertransformasi menjadi pembicara utama, penulis, thought leadersĀ di LinkedIn, dan influencer. Mereka dipuja secara publik. Organisasi mereka dipromosikan sebagai yang "terbaik di kelasnya" (best in class).


Namun secara internal, budayanya sedang berjuang keras.

Ini bukanlah sesuatu yang semu atau munafik. Ini adalah kompensasi berlebihĀ (overcompensation).

Pemimpin HR memproyeksikan keunggulan di luar (externally) karena mereka tidak merasa berdaya di dalam (internally). Mereka merasa memiliki lebih banyak kebebasan di atas panggung daripada di dalam ruang rapat direksi.


Dan ketika energi seorang pemimpin HR terbelah — sebagian ada di dalam organisasi, dan sebagian lagi sibuk membangun masa depan di luarnya — sistem akan merasakannya.

Transformasi menuntut kehadiran energi yang utuh.

Jika perhatian Anda terbagi, dampak Anda pun terbagi. Sekali lagi, ini bukan suatu yang menghakimi secara moral. Ini adalah realitas energi.


Energi mengalir ke mana perhatian tertuju.
Energi mengalir ke mana perhatian tertuju.

IX. Pekerjaan Nyata yang Perlu Dilakukan HR — Batin, Struktural, dan Ke Atas


Transformasi membutuhkan tiga pergeseran paralel, dan ketiganya harus terjadi secara bersamaan.


Pergeseran 1 — Pengembangan Dalam Diri Pemimpin HR

Anda tidak bisa memfasilitasi transformasi pada tingkat yang lebih dalam daripada tingkat di mana Dalam Diri Anda sendiri beroperasi.


Pengembangan Dalam Diri meliputi:

  • Pekerjaan sisi bayangan diri (shadow work)

  • Mengenali pola ketakutan Anda

  • Kesadaran berbasis pemahaman trauma (trauma-informed awareness)

  • Menumbuhkan kehadiran (presence) dan kemampuan mendengar

  • Mengembangkan kapasitas untuk menahan ketegangan

  • Bergerak dari bertahan hidup → integrasi → kepemimpinan yang digerakkan oleh tujuan

  • Memperkuat batasan diri

  • Meningkatkan jangkauan emosional

  • Memperluas kesadaran sistemik


Ini adalah fondasinya. Ketika Anda bergeser secara 'Dalam Diri' (batin), organisasi Anda akan merasakannya.


Pergeseran 2 — Desain Ulang Sistem Organisasi (Struktural + Percakapan + Energi)

Desain ulang sistem harus melewati struktur.

Anda mendesain ulang percakapan apa yang dilakukan para pemimpin, cara mereka mendengar, cara mereka berpikir bersama, ke mana perhatian mengalir, dan bagaimana energi bergerak dalam rapat.


Di sinilah proses integrasi yang saya lakukan dari:

  • Konstelasi sistemik

  • Kecerdasan sistemik

  • Theory U

  • Leadership Circle

  • Nilai-nilai Barrett (Barrett Values)

  • Psikologi perkembangan

  • Kepemimpinan adaptif

  • Fasilitasi berbasis pemahaman trauma

  • Executive coaching

...menjadi satu metodologi yang praktis dan membumiĀ (grounded). Ini bukan teori. Ini adalah mekanisme nyata yang dapat memfasilitasi terjadinya transformasi.


Pergeseran 3 — Mengelola ke Atas: Menyampaikan Kebenaran pada Pemegang Kuasa dengan Kebijaksanaan

Anda tidak bisa mengubah budaya tanpa mengubah dinamika kepemimpinan di atas Anda.

Hal ini membutuhkan:

  • Keberanian

  • Kehadiran (Presence)

  • Diagnosis sistemik

  • Pemilihan waktu yang strategis (Strategic timing)

  • Kenetralan emosional

  • Kematangan perkembangan diri

  • Pemahaman psikologi CEO

  • Penyampaian kebenaran yang elegan

  • Tantangan yang penuh rasa hormat

Di sinilah sebagian besar pemimpin HR merasa kesulitan. Dan di sinilah coachingĀ serta fasilitasi sistemik dapat benar-benar mengubah permainan yang terjadi dalam konteks transformasi.


(berlanjur ke bagian 2)


________________________________________________________________________________________________________


Leksana TH



bottom of page