top of page

KURANGNYA EMPATI: Mengapa Tim Anda Hanya Berbicara dan Tidak Ada Koneksinya

  • Gambar penulis: Leksana TH
    Leksana TH
  • 8 Okt 2023
  • 8 menit membaca

Kita dilatih untuk "mendengarkan secara aktif", namun kita gagal membangun koneksi. Mata rantai yang hilang bukanlah soal teknik—ini adalah pergeseran dasar di niatan manusianya.


Sebagai seorang pemimpin, Anda mungkin pernah berada dalam rapat yang merupakan sebuah mahakarya inefisiensi. Orang-orang berbicara, slide dipresentasikan, dan 'poin tindak lanjut' (action items) dicatat. Namun di balik permukaan, Anda bisa merasakan adanya diskoneksi.


Anda melihat anggota tim mengangguk-angguk, bahkan mungkin mempraktikkan keterampilan 'mendengarkan aktif' mereka dengan memparafrasakan apa yang dikatakan, namun isu-isu intinya tetap tidak tersentuh. Suasana terasa kental dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terucap, kecemasan yang terpendam, dan perasaan berjarak terhadap pimpinan yang dibungkus oleh sopan santun. Namun suasana di ruang meeting terasa kopong dan tidak 'bernyawa'.


Inilah paradoks modern dalam kehidupan organisasi. Kita lebih terhubung lewat alat komunikasi dari sebelumnya, namun kita sering kali gagal membangun koneksi. Kita telah menguasai mekanisme komunikasi, tetapi kehilangan niatan manusianya di balik semua komunikasi.


Kita diminta untuk mendengarkan, tetapi seperti yang dituturkan oleh penyair abad ke-13, Jalal ad-Din Rumi:

ā€œDengarkan dengan telinga toleransi! Lihatlah melalui mata welas asih! Berbicaralah dengan bahasa kasih sayang.ā€

Masalahnya bukan pada pendengaran kita; melainkan pada cara kita melihat dan merasa. Kita 'mendengarkan' dengan niat untuk membalas, memperbaiki, atau menang, bukan dengan niat untuk memahami.


Katalisator untuk mendengarkan secara mendalam (deep listening)—yang membangun kepercayaan, memupuk rasa aman psikologis (psychological safety), dan membuka inovasi sejati—bukanlah sebuah naskah tertulis. Deep listening adalah ekspresi welas asih (compassion).


Dengarkan dengan telinga toleransi! Lihatlah melalui mata welas asih! Berbicaralah dengan bahasa kasih sayang.
Dengarkan dengan telinga toleransi! Lihatlah melalui mata welas asih! Berbicaralah dengan bahasa kasih sayang.

Jenjang Mendengarkan:

Apakah Anda Tersendat Pada Putaran Pertama?


Kita sering menganggap "mendengarkan" sebagai satu keterampilan tunggal. Padahal kenyataannya, ini adalah sebuah spektrum. Otto Scharmer, seorang dosen senior di MIT dan pendiri Presencing Institute, menguraikan empat tingkatan (level) mendengarkan yang berbeda. Sebagai seorang pemimpin, tanyakan pada diri Anda, di tingkatan mana Anda dan tim Anda paling banyak menghabiskan waktu:


  • Level 1: Mengunduh (Downloading):Ā 

Ini adalah mendengarkan dengan mode autopilot. Kita hanya mengonfirmasi apa yang sudah kita ketahui, mendengarkan data yang sesuai dengan pendapat kita. Kita tidak hadir (present); kita menunggu giliran untuk berbicara. Ini adalah ranah pertukaran yang diwarnai dengan sopan santun dan berbicara hanya pada permukaan karena tugas dan peran formal (surface-level).


  • Level 2: Mendengarkan Faktual (Factual Listening):Ā 

Kita mulai waspada dan memperhatikan informasi baru. Kita mendengarkan fakta, data, dan apa pun yang berbeda dari pengetahuan kita saat ini. Ini adalah cara mendengarkan yang objektif dan lepas (detached)—biasa terjadi dalam debat atau analisis data.


  • Level 3: Mendengarkan dengan Empati (Empathic Listening):Ā 

Di sinilah koneksi sejati dimulai. Kita tidak lagi hanya mendengar kata-kata, kita menyelaraskan diri dengan perasaanĀ di baliknya. Kita menempatkan diri di posisi orang lain dan mencoba melihat dunia dari sudut pandang mereka. Kita mendengarkan dengan hati.


  • Level 4: Mendengarkan Secara Generatif (Generative Listening):Ā 

Scharmer menggambarkannya sebagai "mendengarkan dari masa depan yang ingin muncul." Ini adalah tingkatan yang paling mendalam. Ini adalah ruang kehadiran jiwa (presence) dan koneksi yang mendalam di mana kita tidak hanya berempati dengan orang lain, tetapi kita turut menciptakan (co-creating) pemahaman baru. Di sinilah "kebahagiaan murni" (bliss) dan "flow" terjadi, yang mengarah pada lahirnya gebrakan ide-ide baru.


Mengapa begitu banyak pemimpin terjebak pada level 1 atau 2? Kita tidak dapat memaksa diri kita masuk ke EmpathicĀ atau Generative ListeningĀ hanya melalui teknik atau cara logika saja. Ini adalah sebuah hasilĀ (outcome), bukan sebuah tindakanĀ (action). Hal yang mendorong kita menaiki jenjang ini adalah welas asih (compassion).



Welas Asih (Compassion): Perangkat Strategis Pemimpin yang Paling Diremehkan


Dalam konteks korporat, "welas asih" (compassion) bisa terkesan sikap yang 'lembek' (terlalu lunak). Kata ini sering disalahartikan sebagai "rasa kasihan" (pity)—yang justru menciptakan hierarki (atas-bawah), atau "bersikap baik" (niceness), yang cenderung menghindari konflik.


Ini adalah kesalahpahaman yang penting diketahui.

Pakar kepemimpinan Daniel Goleman, penulis Emotional Intelligence, memberikan definisi yang lebih 'tegas'. Ia membingkai welas asih sebagai proses tiga bagian:


  1. Empati Kognitif:Ā "Saya mengerti cara pandang Anda."

  2. Empati Emosional:Ā "Saya ikut merasakanĀ bersama Anda."

  3. Tindakan Welas Asih (atau Kepedulian Empatik):Ā "Karena saya mengerti dan ikut merasakan bersama Anda, saya tergerak untuk membantu."


Tanpa langkah ketiga itu—motivasi untuk bertindak dan empati bisa jadi hanyalah alat pengumpul data yang pasif. Welas asih adalah empati yang diwujudkan dalam tindakan. Ini adalah keinginan dari dalam diri seseorang untuk melihat orang lain berkembang.


Ketika kita mendekati sebuah interaksi dari titik ini, cara kita mendengarkan akan bertransformasi. Namun kita juga mendengarkan kebutuhan mereka yang lebih dalam, ketakutan mereka yang tidak terucap, dan potensi mereka yang belum tergali.


Ini bukan sekadar "soft skill"; ini adalah sebuah keharusan strategis (strategic imperative).



Dari Hal yang Abstrak Menjadi Tindakan Nyata:

Tiga Skenario di Mana Welas Asih Mengubah Keadaan


Mari kita bawa ini dari teori ke realitas sehari-hari seorang eksekutif atau pemimpin HR.


Contoh 1: Karyawan Berkinerja Tinggi yang tiba-tiba 'Tenggelam'

  • Skenario:

Seorang engineerĀ cemerlang, "David," yang selama ini selalu dapat diandalkan dan inovatif, tiba-tiba mulai melewatkan tenggat waktu (deadline) dan tampak tidak berpartisipasi penuh (disengaged) dalam rapat.


  • Respons "Downloading" (Level 1):

Manajer memanggil David. "David, performa kamu menurun. Tiga laporan terakhir kamu terlambat, dan kamu diam saja dalam sesi perencanaan. Saya ingin kamu kembali ke jalur yang benar. Apa rencana kamu untuk memperbaiki ini?"


  • Respons "Mendengarkan dengan empati" (Level 3):

Manajer mengajak David minum kopi, tanpa agenda yang pasti. "David, saya selalu menghargai pekerjaan kamu dan kehadiran kamu di tim ini. Akhir-akhir ini, saya merasakan ada perubahan, dan saya hanya ingin mengecek. Saat ini saya tidak terlalu khawatir soal deadline, saya lebih khawatir tentang kamu. Bagaimana situasi kamu akhir akhir ini?"


  • Hasilnya:

Pendekatan pertama memicu sikap defensif. David memberikan jawaban permukaan atau basa basi saja ("Saya akan mengatur waktu saya lebih baik") dan pergi dengan perasaan seperti terbebani masalah yang harus diselesaikan.

Pendekatan kedua menciptakan keterbukaan. David terdiam sejenak lalu bercerita bahwa ia kewalahan karena menjadi perawat utama (caregiver) bagi orang tuanya yang sedang sakit. Dia mengalami burnout. Pemimpin yang berempati kini dapat bertindak, bukan dengan memasukkannya ke dalam "rencana peningkatan kinerja" (performance plan), tetapi dengan menghubungkannya ke Program Bantuan Karyawan (Employee Assistance Program/EAP), menjajaki jadwal kerja yang fleksibel, dan mendistribusikan kembali tugas-tugasnya yang paling sensitif terhadap waktu untuk sementara.

Pemimpin tersebut tidak hanya "memperbaiki" masalah kinerja namun ia juga telah mempertahankan seorang karyawan kunci dan mendapatkan tingkat kepercayaan serta loyalitas yang tidak dapat dibeli dengan gaji.


Contoh 2: Menengahi Konflik Antar "Suku" yang Berseteru

  • Skenario:

Tim Produk dan tim Penjualan (Sales) sedang ada konflik terbuka. Tim Sales menuduh tim Produk membuat fitur yang tidak diinginkan siapa pun, dan tim Produk menuduh tim Sales "menjual mimpi" dan menjanjikan manfaat produk yang mustahil. Seorang HR business partner (HRBP) dihadirkan untuk menengahi.


  • Respons "Faktual" (Level 2): HRBP mengadakan pertemuan di mana setiap pihak menyajikan "bukti"—email, grafik, dan data—yang membuktikan bahwa pihak lain bersalah. Sesi tersebut berubah menjadi debat tentang siapa yang benar.


  • Respons "Sistemik & Empati": HRBP, dengan memanfaatkan prinsip-prinsip systemic thinkingĀ (pemikiran sistemik) (seperti gagasan Peter Senge atau Bert Hellinger), melihat ini bukan sebagai konflik antar individu, melainkan sebagai kelemahan dalam sistem. Mereka mengadakan sesi mendengarkan secara terpisah terlebih dahulu.

    • Kepada Tim Sales: "Ceritakan tentang tekanan yang Anda hadapi. Apa yang Anda butuhkanĀ dari tim Produk agar merasa sukses?"

    • Kepada Tim Produk: "Seperti apa rasanya berada di tim Anda saat ini? Apa yang Anda butuhkanĀ dari tim Sales untuk dapat melakukan pekerjaan terbaik Anda?"


  • Hasilnya: HRBP menemukan akar masalahnya:

Rencana kompensasi perusahaan memberikan imbalan besar kepada tim Sales untuk setiapĀ kontrak baru, sementara tim Produk diberi bonus berdasarkan stabilitas produk. Sistem itu sendiri telah mengadu domba mereka. Dengan mendengarkan penuh empati terhadap tekanan sistemikĀ yang dihadapi setiap tim, HRBP dapat berhenti menengahi siapa yang bersalah dan mulai memfasilitasi diskusi dengan pimpinan senior untuk menyelaraskan kembali insentif. Fokusnya bergeser dari "siapa yang salah" menjadi "apa yang tidak sinkron dalam proses kita."


Contoh 3: Memimpin di Tengah Reorganisasi yang Membuat banyak Pihak Khawatir

  • Skenario: Seorang CEO baru mengumumkan "poros strategis" (strategic pivot) besar-besaran. Desas-desus tentang PHK beredar, dan seluruh organisasi moodnya seperti mengalami lumpuh karena kecemasan.


  • Respons "Mengunduh" (Downloading): Seorang pemimpin senior mengadakan town hall, mempresentasikan 50 slideĀ tentang strategi baru, dan mengakhirinya dengan lima menit untuk "Tanya Jawab". Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dijawab dengan bahasa korporat yang kaku (corporate-speak). Tim tersebut pergi dengan perasaan lebih cemas daripada saat mereka datang.


  • Respons "Generatif" (Level 3-4): Pemimpin tersebut menaruh presentasinya. Ia mengadakan serangkaian "tur mendengarkan" (listening tours) dengan kelompok-kelompok kecil. Ia membukanya dengan kerentanan (vulnerability): "Saya tahu ini adalah masa ketidakpastian, dan saya tidak memiliki semua jawabannya. Tapi saya di sini untuk mendengarkan. Apa yang paling Anda khawatirkan? Peluang apa yang Anda lihat namun kami lewatkan? Apa yang Anda butuhkan dari kepemimpinan untuk melewati ini?"


  • Hasilnya: Dia tidak hanya "mendownload" rencananya namun dia menangguhkan kepastiannya sendiriĀ (suspends her own certainty) (sebuah prinsip utama dari gagasan Senge tentang Dialog). Dengan mendengarkan ketakutan yang ada secara tulus, ia meredakan desas-desus. Lebih penting lagi, dengan mendengarkan peluangĀ (Level 3), ia menangkap beberapa ide cemerlang dari staf garis depan tentang bagaimanaĀ menerapkan poros strategi tersebut. Tim bergeser dari perasaan sebagai korbanĀ perubahan menjadi sesama rekan yang ikut menulisĀ (co-authors) perubahan itu sendiri. Inilah "menyanyikan dengan suara alamiah bersama-sama" (coherent song of the universe) dimana suara mereka ikut dibawa ke ruang meeting.



Jalan ke Depan:

Bagaimana Memulai Mendengarkan dengan Welas Asih


Welas asih (compassion) bukanlah suatu sifat bawaan; ini adalah sebuah hasil dari didikan dan praktik atau menjalankan (practice). Mendengarkan secara mendalam (deep listening) bukan seperti saklar yang kita tinggal nyalakan melainkan otot yang perlu kita latih. Ini adalah titik awal dari mana kita dapat "mempromosikan rasa kesejahteraan komunitas yang lebih inklusif.

Jadi, dari mana Anda memulai?

  1. Praktikkan Jeda dengan semangat Welas Asih (Compassionate Pause): Ketika Anda merasakan komentar defensif atau reaktif muncul di tenggorokan Anda, berhentilah sejenak. Ambil satu hitungan napas yang diniatkan. Satu napas ini menciptakan ruang antara stimulus dan respons Anda. Di ruang itulah, Anda memilihĀ untuk merespons dengan welas asih dan menghentikan bereaksi yang menghakimi.

  2. Bertanya, Jangan Berasumsi: Beralihlah dari membuat pernyataan ke mengajukan pertanyaan terbuka yang ada rasa ingin tahu. Hindari berkata, "Tenggat waktu itu tidak dapat diterima," cobalah, "Bantu saya memahami apa yang menghalangi pencapaian tenggat waktu itu." Sebaliknya dari, "Ide ini tidak akan berhasil," cobalah, "Ceritakan lebih banyak tentang pemikiran Anda di sini." Dengarkan orangnya, bukan hanya masalahnya.

  3. Dengarkan Diri Anda Terlebih Dahulu: Ini adalah langkah yang paling melawan diri Anda sendiri. Anda tidak dapat memberikan welas asih kepada orang lain jika Anda tidak memilikinya untuk diri sendiri. Ketika Anda mengalami hasil kuartalan yang buruk, apakah Anda "mendengarkan" diri sendiri dengan penghakiman ("Saya gagal") atau dengan welas asih ("Ini sangat sulit. Apa yang saya pelajari? Apa yang saya butuhkan?"). Pemimpin yang mempraktikkan welas asih pada diri sendiri (self-compassion) akan menjadi teladan bagi budaya yang berkesinambungan (sustainable), tangguh (resilient), dan berpusat pada manusia (human-centric).

Pada akhirnya, mendengarkan secara mendalam bukanlah "soft skill" yang didelegasikan kepada HR. Ini adalah kompetensi inti (core competency) kepemimpinan abad ke-21. Ini adalah kemampuan untuk meniadakan suara suara kecemasan dan agenda dari ego Anda sendiri dan benar-benar melihatĀ serta mendengarĀ potensi manusia yang ada di hadapan Anda. Inilah perbedaan antara mengelola transaksi dan memimpin transformasi.

Panggilan untuk bertindak (call to action) yang sesungguhnya sederhana:

Dalam percakapan Anda berikutnya, berhentilah mencoba menjadi orang yang paling menarik, paling pintar, paling punya segala jawaban di ruangan itu, dan mulailah mencoba menjadi orang yang paling tertarik terhadap ide dan pemikiran orang lain.



Leksana TH

bottom of page