SAAT BUMI MENOLAK PIJAKAN LANGKAH LAMA: Studi Kasus Kepemimpinan tentang Identitas, Transisi, and Kemunculan
- Leksana TH

- 6 Mei
- 9 menit membaca
Akan datang suatu momen dalam kehidupan seorang pemimpin ketika pijakan yang selama ini terasa akrab perlahan bergeser. Kadang pergeseran itu datang dengan gaduh — restrukturisasi, pengumuman kebijakan, atau perubahan mendadak dalam alur pelaporan. Di waktu lain, ia hadir tanpa hiruk-pikuk yang dramatis. Sebuah bisikan. Sebuah rasa tidak nyaman. Sebuah penolakan halus dari cara lama untuk terus membawa kita melangkah maju.
Sandra datang ke sesi coachingnya sambil membawa momen seperti itu.
Ia duduk dengan ketenangan yang tidak sebanding dengan beban yang sedang ia pikul. Ia tampak terkendali, cakap, bahkan sesekali ceria, namun ada sesuatu dalam energinya yang menandakan kegelisahan yang lebih dalam, sejenis keguncangan yang muncul ketika sebuah identitas lama mulai kehilangan bentuknya.
Pada awalnya, ia menggambarkan sebuah masalah fisik. Saraf yang terjepit. Sebuah penghentian sementara terhadap latihan intens yang dulu ia cintai. Namun ketika ia berbicara, bahasa tubuhnya mengungkap pergerakan sesuatu yang jauh lebih berat.
Keterbatasan fisiknya bukan sekadar cedera. Ia adalah sebuah pesan.Sebuah persimpangan.Sebuah sinyal dari sistem yang lebih dalam di sekelilingnya dan di dalam dirinya — bahwa sebuah bentuk lama telah usai menjalankan fungsinya..
Selama bertahun-tahun, Sandra mendefinisikan dirinya melalui intensitas. Dialah sosok yang mampu mendorong lebih keras, bertahan lebih lama, dan menanggung lebih banyak. Olahraganya termasuk membalik ban besar, menari dengan penuh semangat, dan bertumbuh dalam setiap tantangan. Kekuatan fisik bukan sekadar sesuatu yang ia miliki. Itu semua merupakan bagian sentral dari identitasnya, cara ia mengenali dirinya sendiri dan merasakan jadi hidup.
Lalu tubuhnya pun mulai terusik.
Lalu tubuhnya pun mulai turun tangan.Rasa nyeri muncul di bagian-bagian yang dulu ia percayai sepenuhnya. Gerakan yang sebelumnya terasa tanpa usaha kini menjadi mustahil.Dan di ruang sunyi di antara kalimat-kalimatnya, sesuatu yang lebih jujur pun muncul:
“Aku tidak bisa kembali menjadi diriku yang dulu.”
“Ketika sesuatu di dalam diri kita menjadi terlalu kecil, hidup akan menata ulang dirinya sendiri untuk membebaskan kita.” — Marion Woodman
Kata-katanya tidak mengandung drama. Bukan pula pengakuan atas kegagalan.
Itu adalah bahasa awal dari sebuah identitas yang sedang melepaskan kulit lamanya.

I. Duka Sunyi atas Identitas yang Tengah Memudar
Sandra bercerita tentang kebiasaannya menggulir media sosial, sebuah ruang di mana gema dari dirinya yang lama kembali menghantuinya.
Orang-orang melakukan hal-hal yang dulu bisa ia lakukan dengan mudah.
Gerakan mereka membangkitkan kerinduan dalam dirinya. Dan terkadang, ada sebuah rasa perih.
Ia berbisik, lebih kepada ruang di sekitarnya daripada kepadaku:
“Aku benar-benar sudah tidak bisa melakukan itu lagi.”
Ini bukanlah sebuah rasa menyerah, namun ini adalah sebuah pengakuan.
Rasa kehilangannya bukan semata-mata bersifat fisik.
Namun kehilangan yang bersifat eksistensial (keberadaan).
Sebagian dari dirinya, bagian yang mempercayai intensitas sebagai sumber nilai diri dan rasa memiliki, sedang hanyut.
Inilah duka sunyi yang dirasakan oleh banyak pemimpin masa kini. Organisasi tengah meruntuhkan hierarki tradisional. Teknologi menggantikan peran yang dulu mendefinisikan kompetensi. Otoritas tak lagi berada di tempat yang dapat diprediksi. Keterampilan yang selama ini menjadi sandaran para pemimpin sedang ditata ulang, didistribusikan kembali, atau digantikan.
Arsitektur lama dalam proses menghilang. Dan banyak pemimpin mendapati diri mereka berada di sini, di celah antara “siapa mereka dahulu” dan “harus menjadi siapa mereka kini”.
Ada saat ketika identitas yang lama tak lagi mampu menopang kebenaran mendalam yang sedang muncul dari bawah ke permukaan.
Inilah ambang batas yang sedang Sandra pijak.
Bukan ambang batas luka, melainkan ambang batas identitas.
Sebuah momen refleksi:
Di bagian mana dalam hidupmu ada sesuatu yang diam-diam meminta untuk dilepaskan, meskipun sebagian dirimu masih merindukan apa yang dulu ia berikan kepadamu?
II. Ketegangan Dalam Diri: Strategi, Perbandingan, dan Suara Dari Sebuah Kehilangan
Di dalam diri Sandra hidup sebuah konflik sunyi yang tidak asing bagi siapa pun yang tengah mengalami perkembangan di fase dewasa. Sebuah ketegangan antara bagian dirinya yang ingin memperbaiki keadaan dan bagian yang tahu bahwa sesuatu yang lebih dalam sedang bergeser.
Ia berbicara tentang “sepeda eliptikal” barunya dengan penuh antusiasme, menjelaskan bagaimana alat itu membantunya tetap aktif, bagaimana ia membuatnya berkeringat, bagaimana ia meniru gerakan berlari tanpa memberikan tekanan berlebih. Semua yang ia ceritakan itu benar.
Namun di balik antusiasme itu, ada sesuatu yang lain. Strategi ini bukan semata tentang olah fisik.
Itu adalah sebuah upaya untuk mempertahankan identitas yang ia takutkan akan hilang.
Strategi sering muncul ketika jiwa belum siap merasakan duka yang tersembunyi di balik kehilangan. Ia menjadi cara yang tampak elegan untuk menghindari penurunan emosional, penurunan yang mendahului setiap pergeseran nyata dalam proses pemaknaan hidup di fase hidup dewasa.
Saat ia berbicara, saya dapat merasakan bagian dalam dirinya yang menginginkan diyakinkan kembali.
Bagian yang takut menjadi tidak relevan.
Bagian yang berusaha menghindari rasa tidak nyaman dengan mencari “solusi.”
Banyak pemimpin melakukan hal yang sama.
Ketika pijakan bergeser, kita meraih hal-hal yang sudah akrab: sertifikat baru, alat baru, rutinitas baru, restrukturisasi baru.
Namun sering kali, semua ini hanyalah cara untuk menghindari kebenaran:
diri yang lama sedang melebur, dan tak ada strategi yang dapat menyelamatkannya.
Lalu muncullah kecenderungan membandingkan dengan halus.
Ia melihat orang-orang bergerak dengan kekuatan yang dulu pernah ia miliki, dan sebuah suara lirih di dalam dirinya berbisik:
“Semua orang lain terus melanjutkan. Mengapa aku tidak bisa?”
Inilah suara yang muncul ketika sebuah identitas mulai luruh, sementara identitas yang baru belum terbentuk.
Sebuah momen refleksi:
Di bagian mana dalam hidupmu kamu masih terus “merangkai strategi” untuk melindungi sebuah identitas yang sesungguhnya mungkin telah selesai?
III. Momen untuk Melihat
Seiring sesi semakin mendalam, suasana pun berubah.
Strategi-strategi itu mulai melunak.
Penjelasan-penjelasan yang sifatnya hanya di permukaan semakin berkurang.
Pada satu titik, saya bertanya padanya dengan pelahan:
“Ketika kamu menatap cermin, apa yang kamu lihat?”
TAda jeda, bukan karena keraguan, melainkan karena sebuah pengakuan.
Dia berkata dengan lirih:
“Saya melihat seseorang yang tidak sama seperti sebelumnya. Dia tidak berada dalam bentuk optimalnya... tidak berada di tempat yang dulu membuatnya merasa hidup.”
Sesuatu dalam dirinya kemudian terjatuh, bukan dalam kekalahan, melainkan dalam kebenaran. Kebenaran itu telah menunggu celah ini. Ketika seseorang mengakui kebenaran tentang “apa yang ada,” saat itulah sesuatu di dalam sistem dirinya mulai menata ulang. Semua bagian dalam diri yang sebelumnya berkonflik mulai berorientasi pada integritas yang lebih dalam.
Inilah yang terjadi pada Sandra.
Strateginya, sepedanya, alternatif-alternatifnya, dan negosiasi mentalnya, itu semua adalah upaya untuk kembali ke rasa diri yang lama.
Namun upaya-upaya itu dilompati oleh pergerakan yang lebih dalam di dalam dirinya:
pergerakan menuju penerimaan, kebenaran, dan transformasi.
Kemudian pengakuan itu tiba sepenuhnya:
“Ini adalah proses berduka. Saya tidak menyadari betapa dalamnya ini.”
Inilah momen penting dalam setiap transisi. Bukan momen kehilangan itu sendiri , tetapi momen ketika kehilangan sesuatu itu diberi nama
“Awal yang baru sering kali tersembunyi di balik kemuliaan penuh atas sebuah pengakhiran.” — John O’Donohue
Memberi nama pada sebuah pengakakhiran adalah hal yang memungkinkan pembentukan sebuah permulaan.
Sebuah momen perenungan:
Kebenaran apa yang selama ini kamu hindari untuk diakui, karena kamu tahu itu akan menuntutmu melepaskan sesuatu?

Permulaan baru sering bersembunyi dibalik keagungan sebuah akhir
IV. Penurunan yang Membuka Kedalaman
Setiap pergeseran identitas selalu melibatkan sebuah penurunan.
Sebuah proses melepaskan.
Sebuah kepasrahan terhadap struktur-struktur lama yang dulu terasa seperti rumah.
Sandra sedang memasuki penurunan ini, bukan sebagai keruntuhan atas siapa dirinya, Melainkan sebagai proses melunaknya atas siapa yang tak lagi perlu ia pertahankan.
Penurunan ini bukanlah sebuah kegagalan pribadi.
Ia adalah sebuah gerak pertumbuhan.
Sebuah perluasan diri.
Many leaders today are in precisely this space:
Peran yang dulu mendefinisikanmu kini tak lagi pas.
Otoritas yang dulu Anda pegang kini terbagi.
Rasa aman yang dulu kamu andalkan menjadi kondisi bersyarat.
Cara lama dalam memimpin terasa terlalu sempit untuk kompleksitas yang kini Anda hadapi.
Ini bukanlah sebuah krisis.
Ini adalah sebuah pergeseran menuju pusat pemaknaan yang lebih matang.
Penurunan adalah pintu menuju kemunculan.
Dan dalam proses penurunan itu, sesuatu yang lain menjadi mungkin:
sebuah hubungan yang lebih membumi dengan realita..
Tak lagi terjebak dalam momentum kinerja, sang pemimpin menjadi mampu hadir secara lebih mendalam, merasakan dengan lebih jernih, dan mengambil keputusan yang lebih selaras.
Sandra mulai memasuki ranah ini.
Apa yang ia sangka sebagai keterbatasan fisik ternyata adalah awal dari sebuah penataan ulang, sebuah restrukturisasi dalam diri yang memerlukan hubungan baru dengan kekuatan, identitas, dan nilai.
Pertanyaannya pun bergeser dari: “Bagaimana aku bisa kembali menjadi diriku yang dulu?”
Menjadi: “Momen ini sedang memanggilku untuk menjadi siapa?”
Inilah titik balik dalam setiap proses transisi.
Sebuah penanda dimulainya satu kemunculan yang baru.
V. Penataan Ulang Dalam Diri: Dari Upaya Menuju Esensi
Seiring Sandra mulai menerima realitas yang lebih dalam dari situasinya, sebuah pertanyaan baru pun muncul. Bukan dari identitas lamanya, melainkan dari identitas yang sedang muncul kepermukaan: “Seperti apa jadinya jika aku membangun hubungan yang baru dengan diriku sendiri?”
Ada sesuatu dalam posturnya yang melunak.
Kalimat itu lahir dari lapisan kesadarannya yang berbeda, bukan lagi ditentukan oleh upaya atau pencapaian.
Kisahnya kini bukan lagi tentang olah fisik.
Namun sedang beralih menjadi kisah tentang kehadiran, keselarasan, dan bentuk kepemimpinan sesungguhnya yang lebih sesuai dengan reaitas.
Gerak sistemik dalam dirinya terasa jelas:
ia tengah menata ulang dirinya berlandaskan esensi, bukan lagi pada identitas..
Ia mulai merasakan bahwa:
kekuatan yang selama ini ia andalkan bersifat eksternal.
Namun kekuatan yang kini ia butuhkan perlu lahir dari dalam.
Nilainya selama ini bertumpu pada apa yang dilakukannya.
Namun masa depannya akan dibentuk oleh siapa dirinya.
Sandra sedang melangkah memasuki lengkung perkembangan fase dewasa yang lebih dalam. Sebuah ruang di mana makna kepemimpinan bergeser dari kompetensi menuju kesadaran diri, dari sekedar mengelola hasil menuju kepekaan terhadap apa yang sedang diminta oleh sistem selanjutnya.
Dan justru pergeseran inilah yang kini dibutuhkan oleh kepemimpinan modern.
Dunia hari ini tidak lagi memberi penghargaan pada pemimpin yang membawa banyak beban.
Melainkan pada pemimpin yang mampu membawa lebih banyak kesadaran.
Sebuah Momen Perenungan:
Bagian mana dari kepemimpinanmu yang selama ini bertumpu pada upaya dan kerja keras, serta apa yang mungkin muncul jika kamu memimpin dari esensi terdalammu?
VI. Disisi Tepi Sebagai Acuan Memandang
Setiap transisi membawa momen ketika diri yang lama mulai melemah, sementara diri yang baru belum sepenuhnya terbentuk.
Inilah ambang batas itu, sebuah tepi.
Bagi banyak pemimpin, tepi ini terasa seperti ketidakpastian.
Bagi yang lain, ia terasa seperti kehilangan.
Namun sesungguhnya, tepi ini bukan keduanya
Disisi Tepian Ini Adalah Sebuah Acuan Memandang.
Sebuah tempat di mana akhirnya kamu dapat melihat bentangan yang lebih luas, tanpa lagi terhalang oleh momentum masa lalu.
Sandra mulai menyadari hal ini.
Ia tengah berduka atas siapa dirinya dahulu.
Namun di dalam duka itu, sebuah kejernihan baru sedang terbentuk — kejernihan yang tidak lahir dari upaya, melainkan dari kebenaran.
Inilah jantung dari transisi kepemimpinan yang mendalam:
ketika identitas lama melebur, diri yang lebih hakiki pun mulai menampakkan diri.
Perjalanan Sandra menjadi sebuah panggilan untuk berdiri, bukan lagi dalam intensitas, melainkan dalam kehadiran.. Bukan dalam performa, melainkan dalam keselarasan.
Bukan dalam kekuatan sebagai daya paksa, melainkan dalam kekuatan sebagai integritas.
Dan inilah yang sesungguhnya dibutuhkan oleh dunia baru yang sedang muncul.
Para pemimpin yang mampu merasakan, bukan sekadar memutuskan.
Para pemimpin yang mampu mendengarkan, bukan hanya mengarahkan.
Para pemimpin yang mampu berdiri dan bertahan di dalam ketidakpastian tanpa
terjerembab kembali ke pola-pola lama.
“Pemimpin masa depan adalah mereka yang mampu berdiri di dalam ketidakpastian, tanpa terjerembab kembali ke pola-pola lama.”— Otto Scharmer
Sandra menyadari bahwa tepian yang dilaluinya bukanlah jurang.
Melainkan sebuah awal.

VII. Sebuah Panggilan yang Lebih Luas
Pada intinya, kisah Sandra adalah kisah yang banyak dialami oleh pemimpin hari ini.
Struktur-struktur yang selama ini menjadi fondasi identitas, keahlian, intensitas, dan pencapaian, sedang mengalami konfigurasi ulang.
Tangga-tangga yang lama mulai menghilang.
Aturan-aturan lama tak lagi berlaku.
Ukuran-ukuran lama tentang nilai diri terasa terlalu rapuh untuk menampung kompleksitas yang kini kita hadapi.
Kita diajak untuk mengembalikan kepemimpinan pada pusat yang lebih dalam.
Untuk merasakan diri kita secara berbeda.
Untuk menata ulang dari dalam.
Untuk berlabuh pada sesuatu yang lebih jujur daripada performa.
Perubahan batin ini bukanlah jalan memutar balik dari kepemimpinan —
ini adalah bentuk kepemimpinan yang dibutuhkan untuk era berikutnya.
Dan bagi banyak pemimpin, momen transisi ini adalah titik peralihan dimulainya bentuk kepemimpinan yang baru.
Di titik dan tepi batas inilah, bentuk kepemimpinan yang lebih membumi, lebih hadir, dan lebih selaras mulai menjelma.
Bagi para pemimpin yang merasa tengah berdiri di ambang batas ini, saya telah merancang sebuah ruang khusus untuk proses yang lebih mendalam , sebuah perjalanan bernama Living the Edge, bagi Anda yang sedang menjalani transisi besar dalam kepemimpinan dan kehidupan. Anda dapat mengeksplorasinya lebih jauh, dengan tenang dan sesuai waktu Anda, di situs saya pada menu Training & Courses → Living the Edge.
Ketika Kulit Lama Menanggalkan Dirinya
Perjalanan Sandra sesungguhnya bukan tentang olah fisik.
Ini tentang momen ketika identitas yang dulu terbiasa menjadi terlalu kecil.
Ini tentang duka saat melepaskan, dan keheningan yang mulia yang mengizinkan sesuatu yang harus selesai, benar-benar selesai.
Ini tentang kemunculan yang hanya mungkin terjadi ketika kita berhenti bernegosiasi dengan masa lalu.
Pada tingkatan terdalamnya, kepemimpinan bukanlah tentang mempertahankan sebuah identitas. Melainkan proses yang terus-menerus untuk membuka/mengungkap kebenaran yang lebih dalam.
Sebuah tepian bukanlah tempat yang berbahaya.
Ia adalah sebuah ambang batas.
Ruang di mana perspektif menjadi lebih luas.
Tempat di mana asumsi-asumsi lama runtuh dan bentuk-bentuk baru mulai menampakkan diri.
Di sinilah kita berhenti berusaha kembali menjadi “siapa kita yang dulu”,
dan mulai membentuk “kita sedang menjadi siapa”.
Dan pada saat itu, sesuatu yang esensial, sesuatu yang telah lama menanti mulai muncul ke permukaan.
Catatan Konfidensial
Studi kasus ini terinspirasi dari praktik coaching nyata. Nama, unsur personal, dan detail kontekstual telah diubah untuk menghormati konfidensialitas serta menjaga integritas pengalaman yang disampaikan..
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________ Leksana TH



