top of page

PIMPINAN YANG DIGERAKKAN OLEH PURPOSE: Dari Nilai Personal Menuju Impack yang Transformasional

  • Gambar penulis: Leksana TH
    Leksana TH
  • 5 Des 2023
  • 11 menit membaca

Diperbarui: 7 hari yang lalu


ree

Kita tenggelam dalam obsesi akan purpose.

Kata itu menghiasi setiap pernyataan misi perusahaan, setiap brosur rekrutmen, dan setiap pidato CEO. Namun, di balik kemegahan kata-kata itu, purpose sering kali terasa hampa. Ia hanya menjadi hiasan dinding yang terputus dari realitas harian: tekanan anggaran, tenggat waktu yang ketat, dan dinamika politik kantor.


Mengapa jurang pemisah ini terbentuk?

Akar masalahnya adalah kita memperlakukan purpose sebagai produk akhir—sebuah slogan menarik yang menjadi tujuan itu sendiri. Kita menganggapnya sebagai alat pemasaran. Padahal, purpose yang transformatif bukanlah soal "apa" yang kita capai, melainkan "bagaimana" kita mewujudkannya. Purpose adalah sebuah praktik yang dinamis dan berkelanjutan, yang dimulai dari sebuah pergeseran internal yang mendalam dalam diri setiap pemimpin.


Memimpin dengan purpose pada hakikatnya adalah seni untuk beralih dari fokus semata-mata pada hasil, menjadi menciptakan kondisi untuk pertumbuhan. Ini adalah sebuah perjalanan yang terungkap melalui tahapan-tahapan yang jelas dan dapat dirasakan. ________________________________________________________________________________________________________



šŸ›ļø Fase 1: Fondasi, Proses Menyelaraskan Kompas Dalam Diri Anda


Kepemimpinan yang sejati berawal dari kemampuan memimpin diri sendiri. Sebuah purpose yang tidak bersumber dari identitas inti pemimpin akan runtuh pada tekanan pertama. Inilah fondasi utama untuk membangun keaslian/keotentikan.


Dari Nilai Menjadi Tindakan: Fondasi Kepemimpinan Berpusat Prinsip

Karya Stephen Covey, Principle-Centered Leadership, memberikan landasan kokoh bagi kepemimpinan sejati. Ia menegaskan bahwa kepemimpinan yang efektif harus dibangun di atas fondasi prinsip-prinsip universal yang tak tergoyahkan—seperti integritas, keadilan, dan martabat manusia—yang berfungsi seperti "hukum alam" dalam dunia manusia.


  • Mendefinisikan "Bintang Utara" Anda

    Langkah pertama adalah mendefinisikan "Bintang Utara" pribadi dan organisasi Anda—sebuah metafora dari para penjelajah zaman dahulu yang mengandalkan rasi bintang untuk navigasi. Prinsip-prinsip ini menjawab pertanyaan mendasar: Nilai apa yang Anda pegang teguh saat tidak ada seorang pun yang melihat? Apa yang menjadi harga diri yang tidak bisa ditawar? Proses ini bukan sekadar latihan team-building untuk menghasilkan kata-kata indah, melainkan sebuah penggalian pribadi yang jujur dan mendalam.


  • Pergeseran Paradigma: Dari "Apa yang Menguntungkan" ke "Apa yang Benar"

    Perubahan mendasar (shifting) terjadi ketika seorang pemimpin beralih dari pertanyaan yang berpusat pada diri sendiri— "Apa yang populer, mudah, atau menguntungkan bagi saya?" —menuju pertanyaan yang berpusat pada prinsip— "Apa hal yang benar untuk dilakukan?" .

    Penyelarasan antara nilai yang dianut dan tindakan nyata inilah yang menjadi mesin penggerak keotentikan. Konsistensi ini menciptakan suatu kepastian bagi tim, mereka tahu pemimpinnya berdiri di atas landasan nilai yang jelas, bukan sekadar mengikuti arah angin atau cari selamat. Pada akhirnya, konsistensi antara kata dan perbuatan ini membangun kepercayaan lebih cepat dan lebih dalam daripada cara apapun yang mengandalkan kata-kata dan ucapan belaka.


Menyemangati sisi 'Mengapa' (Kepemimpinan Berbasis Purpose)

Fondasi yang berpusat pada prinsip ini memungkinkan Anda membangun rasa adanya misi penting mengapa kita perlu melakukan ini. Jawaban pertanyaan mengapa adalah ide utama dari Kepemimpinan Berbasis Purpose (Purpose-Driven Leadership) yaitu memiliki visi yang penuh makna yang melampaui sekedar meraih keuntungan bisnis atau pangsa pasar.


  • Apa itu Purpose (kompas internal) Ini adalah semacam jawaban dari pertanyaan mengapa secara kolektif. Mengapa tim atau organisasi Anda ada perlu melakukan suatu hal? Apa yang Anda dan Tim sedang perjuangkan sebagai solusi untuk masalah yang ada di lingkungan, atau dunia di sekeliling organisasi Anda? Jawaban dari pertanyaan mengapa ini harus jelas, menarik bagi anggota team, dan terus-menerus dikomunikasikan.


  • Pergeseran utama karena adanya PurposeĀ Ketika orang memahami mengapaĀ pekerjaan mereka penting, motivasi mereka bergeser dari ekstrinsik (gaji, promosi) ke intrinsik (makna, kontribusi). Tugas seorang pemimpin adalah menjadi Pencipta Makna Utama (Chief Meaning Maker), yang menghubungkan tugas sehari-hari yang bisa jadi terasa menjemukan dengan misi yang lebih besar dan menginspirasi.


________________________________________________________________________________________________________



šŸ”­ Fase 2: Pergeseran Perspektif — Melihat dengan Cara Baru


Setelah kompas internal Anda terkalibrasi, langkah selanjutnya adalah melakukan transformasi fundamental dalam cara Anda memandang realitas dunia, tim Anda, dan masa depan. Ini adalah pergeseran dari paradigma yang melihat tim sebagai "sumber daya manusia" yang perlu dikelola, menuju paradigma yang memandang mereka sebagai "manusia yang utuh" yang ingin dikembangkan.


Melihat Masa Depan yang Sedang Muncul (Theory U)

Theory U dari Otto Scharmer menawarkan kerangka kerja yang powerful untuk pergeseran ini. Teori ini berpijak pada sebuah prinsip mendasar: kualitas hasil dari tindakan kita bergantung pada kualitas perhatian dan kesadaran kita. Kebanyakan pemimpin terjebak dalam mode 'downloading' —terus-menerus mengulang pola pikir dan respons berdasarkan apa yang sudah terjadi melalui pengalaman di masa lalu.


  • Apa Itu Theory U?

    Intinya, Theory U adalah sebuah proses untuk memimpin dari masa depan yang ingin muncul (emerging future), bukan dari pola-pola lama. Proses ini terdiri dari tiga gerakan utama:


    Mengamati dengan semangat yang masih segar (baru): Menangguhkan "suara penilaian" untuk melihat sistem dan realitas secara utuh, seolah-olah untuk pertama kalinya:

    • Mengamati:Ā Menangguhkan penilaian dan prasangka untuk melihat realitas apa adanya.

    • Mundur & Merasakan:Ā Melangkah lebih dalam ke tempat perenungan dan deep listening, mengakses kecerdasan bukan hanya dari pikiran, tetapi juga dari hati dan kehendak. Inilah momen untuk "membiarkan masa depan yang baru lahir"

    • Bertindak Cepat: Mengeksekusi masa depan yang dirasakan tersebut melalui tindakan nyata, prototipe, dan eksperimen kecil untuk belajar sambil melangkah.

    • Pergeseran Utama: Dari Menginstruksikan ke Merasakan

      Pemimpin yang menjalani Theory U melakukan pergeseran mendasar: dari memberi tahu menjadi merasakan dan mempersepsikan. Mereka beralih dari memimpin dengan otoritas jawaban, menjadi memfasilitasi dengan kerendahan hati untuk bertanya. Pertanyaannya berubah dari "Bagaimana kita memecahkan masalah ini?" menjadi:

      "Apa yang sebenarnya ingin tercipta melalui diri kita saat ini?"

      "Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masa depan ini?"

      Dengan semangat ingin tahu yang tulus, mereka membuka ruang untuk dialog yang generatif, bukan sekadar diskusi dengan cara berdebat. Pendekatan ini melampaui analisis data konvensional karena ini adalah seni mengakses wawasan yang tidak terlihat oleh data masa lalu, dengan merasakan kemungkinan masa depan yang belum terwujud.


Melihat Potensi dalam Diri Setiap Orang (Teori Perkembangan Dewasa)

Cara pandang baru ini juga diterapkan pada cara kita melihat orang-orang dalam tim. Teori Perkembangan Dewasa (Adult Development Theory ) mengungkap sebuah wawasan mendasar: sebagaimana anak-anak, orang dewasa pun terus bertumbuh. Kita senantiasa berevolusi dalam cara kita memaknai dunia, menghadapi kompleksitas, dan memahami jati diri kita.


  • Apa Itu Teori Perkembangan Dewasa?

    Teori ini menjelaskan bahwa setiap individu beroperasi dari "tahapan kesadaran" yang berbeda-beda. Sebagian orang mungkin cenderung melihat dunia dalam dikotomi hitam-putih—berpegang teguh pada aturan, SOP, dan kebenaran absolut. Sementara itu, individu di tahapan yang lebih kompleks mampu mengelola ambiguitas, mempertimbangkan berbagai sudut pandang, dan menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang lebih sistemik dan integral.


  • Pergeseran Utama: Dari Mengelola Karyawan ke Memupuk Manusia yang Bertumbuh Seorang pemimpin yang digerakkan oleh purpose memahami hal ini secara mendalam. Mereka melakukan pergeseran fundamental: berhenti memperlakukan tim sebagai sekumpulan "karyawan" yang seragam, dan mulai memandang setiap anggotanya sebagai individu yang berada dalam perjalanan pertumbuhan yang unik.


    Pertanyaan pemandu mereka berubah dari "Apa yang bisa orang ini lakukan untuk proyek ini?" menjadi:

    "Bagaimana proyek ini dapat menjadi wahana pengembangan bagi orang ini?"


    Mereka secara aktif memupuk budaya belajar berkelanjutan, kesadaran diri, dan keamanan psikologis. Dengan menciptakan lingkungan di mana orang merasa aman untuk mengambil risiko, bertanya, dan gagal, mereka membuka ruang bagi setiap individu untuk bertumbuh menuju tahap potensi mereka berikutnya. Inilah perwujudan nyata dari visi Peter Senge tentang organisasi pembelajar: dengan mendorong pertumbuhan orang-orangnya, hasil yang luar biasa akan mengikuti.


________________________________________________________________________________________________________



šŸŒ Praktik — Mewujudkan Purpose dalam Tindakan Nyata


Dengan fondasi diri yang kokoh (Fase 1) dan lensa pandang yang baru (Fase 2), fase terakhir adalah tentang tindakan—bagaimana kesadaran ini diwujudkan dalam tindakan kepemimpinan sehari-hari, terutama ketika tekanan dan kesulitan menghadang.


Dari Pahlawan ke Tuan Rumah (Margaret Wheatley)

Ini adalah salah satu pergeseran paling sulit namun paling transformatif. Margaret Wheatley menantang model usang "pemimpin sebagai pahlawan"—figur yang memiliki semua jawaban, pembuat keputusan sulit, dan penyelamat perusahaan.


Apa Intinya?

Wheatley menawarkan metafora segar: pemimpin sebagai tuan rumah (leader-as-host). Bayangkan seorang tuan rumah yang mengadakan jamuan. Perannya bukanlah menjadi penghibur utama, melainkan menciptakan kondisi agar para tamu dapat terhubung, bercakap-cakap, berkreasi dan berkolaborasi dengan penuh makna.


Pergeseran Utama:

Seorang pemimpin "tuan rumah" beralih dari menjadi sumber solusi menjadi arsitek percakapan. Mereka fokus pada sistem dengan bertanya:


"Siapa yang perlu terlibat dalam percakapan ini?"

"Pertanyaan apa yang dapat membuka wawasan dan dialog, bukan sekadar debat?"

"Bagaimana saya memastikan setiap suara didengar dan dihargai?"


Pergeseran ini memupuk kepemilikan kolektif, mengalihkan kontrol hierarkis menuju jaringan yang terdesentralisasi, dan pada akhirnya membebaskan kecerdasan kolektif yang telah lama tertidur dalam tim.


Bertahan dalam situasi Chaos (Adaptive Leadership)

Bertahan dalam Chaos (Kepemimpinan Adaptif)

Lingkungan yang diciptakan oleh pemimpin sebagai "tuan rumah" menjadi fondasi yang penting untuk menavigasi tantangan yang paling kompleks sekalipun. Dalam konteks inilah kerangka kerja Kepemimpinan Adaptif (Adaptive Leadership) —yang dikembangkan di Harvard—menjadi sangat relevan. Framework ini membedakan dengan tegas dua jenis masalah:

- Masalah Teknis: Masalah yang jelas, solusinya sudah diketahui, dan dapat didelegasikan kepada seorang ahli.

- Tantangan Adaptif: Masalah yang kompleks, akar penyebabnya ambigu, dan tidak memiliki jawaban yang ada di pakem. Solusinya mengharuskan perubahan di nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku dari orang-orang dalam sistem itu sendiri.


  • Apa Itu Tantangan Adaptif?

    Intinya, tantangan adaptif—seperti mengubah budaya perusahaan yang toksik atau melakukan transformasi model bisnis—tidak bisa diselesaikan oleh seorang pemimpin sendirian. Hanya dengan melibatkan seluruh "sistem" (tim, organisasi) dalam sebuah proses belajar dan adaptasi kolektif, solusi yang berkelanjutan dapat muncul.

  • Pergeseran Utama: Dari Pahlawan ke Fasilitator

    Seorang pemimpin yang digerakkan oleh tujuan (purpose) melakukan pergeseran mental yang mendasar. Mereka berhenti berasumsi memiliki semua jawaban. Sebaliknya, mereka menguasai dua ruang yang berbeda:


    - "Naik ke Balkon" (Get on the Balcony) : Melangkah mundur untuk mengamati pola, dinamika, dan gambaran besar dari sistem secara keseluruhan, layaknya menonton tarian dari balkon.


    - "Turun ke Lantai Dansa" (Get on the Dance Floor) : Terjun kembali untuk terlibat langsung, mendengarkan, dan memandu proses dengan empati.


Dengan bergerak antara kedua perspektif ini, mereka berhasil memobilisasi tim untuk menghadapi realitas yang tidak nyaman. Peran mereka bergeser menjadi: memegang teguh ruang untuk proses adaptif terjadi.


Ini berarti mereka dengan sengaja:

- Mengelola konflik yang produktif dan bukan menghindarinya.

- Melindungi suara-suara minoritas dan perbedaan pendapat.

- Menjaga fokus tim pada "pekerjaan adaptif" yang menantang, mencegah mereka mundur ke zona nyaman dengan hanya melakukan "perbaikan teknis" yang dangkal.


Pendekatan ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru membutuhkan keberanian yang besar dan hubungan yang mendalam dengan purpose bersama. Kepemimpinan Adaptif adalah seni memimpin bukan dengan memberikan jawaban, tetapi dengan mengajukan pertanyaan yang tepat dan memelihara kapasitas kolektif untuk tumbuh melalui situasi yang mengalami kekacauan.


Kemampuan yang Mengikat Segalanya (Kecerdasan Emosional)

Semua fondasi dan kerangka kerja kepemimpinan akan runtuh di lapangan tanpa sebuah kemampuan krusial yang mengikat semuanya: Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence/EI atau EQ). Seorang pemimpin bisa memiliki visi ("mengapa") yang paling cemerlang dan strategi yang paling sempurna, tetapi tanpa EI, semuanya akan sulit diwujudkan.


  • Apa Itu Kecerdasan Emosional?

    Pada intinya, Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk:

    - Mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri (kesadaran diri & pengaturan diri).

    - Mengenali, memahami, dan mempengaruhi emosi orang lain (empati & keterampilan sosial) Ini adalah fondasi untuk membangun hubungan yang tahan banting dan efektif.


  • Pergeseran Utama: Dari Teknis ke Manusiawi

    Pemimpin dengan EI tinggi melakukan pergeseran fundamental: dari sekadar mengelola tugas dan memegang peran menjadi memimpin manusia.

Mereka memahami bahwa sebelum meminta orang untuk berubah, berinovasi, atau mengambil risiko, mereka harus menciptakan sebuah landasan kepercayaan dan rasa aman. Inilah yang disebut keamanan psikologis (psychological safety).


Bagaimana EI Menciptakan Keamanan Psikologis?

Dengan EI, seorang pemimpin menjadi "pelumas" yang membuat mesin budaya purpose bekerja dengan mulus. Mereka:

- Mendengarkan dengan empati, sehingga anggota tim merasa didengar dan dipahami.

- Merespons dengan tenang terhadap kegagalan atau kabar buruk, alih-alih bereaksi dengan menyalahkan.

- Membuka ruang untuk kerentanan dengan mengakui ketidaktahuan dan kesalahan mereka sendiri.


Perilaku ini menumbuhkan kepercayaan yang dibutuhkan agar orang-orang berani:

- Mengungkapkan ide 'gila' yang mungkin justru merupakan terobosan.

- Mengakui kesalahan sejak dini sebelum menjadi bencana.

- Berkata "saya tidak tahu" atau "saya butuh bantuan" tanpa rasa takut.

- Menyampaikan kebenaran yang sulit (speak truth to power).


Kecerdasan Emosional bukanlah kemampuan "soft" yang opsional. Ia adalah "operating system" yang memungkinkan semua program kepemimpinan lainnya—seperti purpose, strategi, dan adaptive challenge—bisa berjalan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan mengandalkan kolaborasi, EI adalah pengungkit paling powerful yang dimiliki seorang pemimpin untuk mengubah tujuan mulia menjadi realitas yang manusiawi.


________________________________________________________________________________________________________



šŸ’” Dari Fondasi ke Garis Depan: Tujuan dalam Aksi


Perjalanan dari nilai menjadi tindakan bukanlah sekadar teori. Ia diuji dalam kompleksitas skenario dunia nyata.


1. Salesforce: Purpose sebagai Fondasi "Mengapa"


  • Fondasi (Fase 1) : Saat mendirikan Salesforce, Marc Benioff tidak hanya membangun model bisnis, tetapi juga model purpose. Bahkan sebelum perusahaan mencapai profit, ia menerapkan model "1-1-1"—mengalokasikan 1% ekuitas, 1% produk, dan 1% waktu karyawan untuk filantropi.


  • "Mengapa" yang Mendasar: Ini bukan sekadar strategi PR, melainkan wujud nyata dari Kepemimpinan Berpusat Prinsip (Covey). Model ini menetapkan nilai inti bahwa kesuksesan perusahaan tidak terpisahkan dari kontribusinya pada komunitas. "Mengapa" inilah yang kemudian berevolusi menjadi budaya "Ohana" (keluarga dalam bahasa Hawaii), yang memperluas tujuan perusahaan untuk melayani semua pemangku kepentingan—karyawan, pelanggan, komunitas, dan lingkungan—bukan hanya pemegang saham.


  • Tantangan Adaptif:Ā Komitmen ini justru menciptakan tantangan Kepemimpinan Adaptif yang berisiko tinggi. Ketika Salesforce melakukan PHK pada 2023, banyak yang memandangnya sebagai pengingkaran terhadap prinsip "Ohana". Di sinilah gesekan antara purpose dan realitas terjadi. Situasi ini memicu percakapan sulit: Bagaimana sebuah "keluarga" mengambil keputusan saat menghadapi kemerosotan kinerja? Bagaimana nilai-nilai dipertahankan justru ketika diuji kesulitan? Seorang pemimpin yang digerakkan oleh purpose mungkin tidak punya jawaban mudah, tetapi mereka wajib melakukan pekerjaan adaptif untuk menavigasi kontradiksi ini dengan transparan.



2. Studi Kasus Gabungan: "Chief Storytelling Officer"


  • Pergeseran Perseptual (Fase 2):Ā Sebuah perusahaan perangkat lunak berusia 50 tahun ("TechSolutions") sedang berjuang. Mereka memiliki produk warisan yang hebat tetapi kehilangan talenta muda terbaik mereka ke perusahaan rintisan. "Purpose" mereka adalah ingin agar kalimat "menyediakan solusi B2B" dijalankan sebagai praktik di lapangan. Namun kenyataannya justru keterlibatan karyawan sedang berada di titik terendah sepanjang masa.


  • Shifting "Theory U":Ā CEO, "David," merasakan adanya 'disconnect'. Dia disuruh meluncurkan "inisiatif nilai-nilai" baru (seperti perbaikan teknis). Namun sebaliknya, ia mencoba mempraktikkan Theory U.

    • Dia menangguhkanĀ "mengambil telak ide dan langsung dijalankan begitu saja" (keyakinannya bahwa dia, sebagai CEO, harus menciptakan makna baru terlebih dulu yang bisa diterima orang-orangnya).

    • Dia mengamatiĀ dengan meluncurkan "kunjungan untuk mendengarkan", tetapi dengan sentuhan yang berbeda. Dia tidak bertanya, "Apa seharusnya purpose kita?" Dia bertanya, "Ceritakan sebuah kisah tentang saat Anda merasa banggaĀ bekerja di sini."


  • Bagaimana Ini Mewujudkan Prinsip sebagai pegangan yang dijalankan di lapangan?Inisiatif David berhasil karena ia mengubah prinsip teori menjadi tindakan nyata yang langsung menyentuh inti pengalaman kerja. Berikut prosesnya:


1. Prinsip: Mendengarkan Mendalam (Theory U) dalam Aksi

David tidak hanya "mendengarkan"; ia melakukan "mendengarkan generatif" —mencari akar nilai dan keyakinan di balik setiap tindakan. Selama dua bulan, ia mengumpulkan cerita yang bukan tentang kesuksesan finansial, tetapi tentang kebanggaan moral. Contohnya:

Seorang insinyur yang rela begadang untuk membantu organisasi nirlaba kecil, bukan karena nilai kontrak, tetapi karena menghargai prinsip "melakukan pekerjaan dengan baik."

Seorang staf technical support yang datang pada hari liburnya ke kantor klien untuk memastikan masalah mereka terselesaikan.

Aksi ini mewujudkan prinsip: Nilai tidak dipaksakan dari atas, melainkan digali dari pengalaman heroik karyawan itu sendiri. Prinsip "pelayanan" dan "komitmen" yang abstrak, langsung memiliki bukti dan wajahnya.


2. Prinsip: Purpose yang Muncul dari Lapangan

Dari kumpulan cerita itu, sebuah pola muncul dengan sendirinya, bukan dirumuskan di ruang rapat. "Mengapa" (Purpose) tim yang sebenarnya ternyata bukan sekadar "menyediakan solusi B2B," tetapi " Menjadi Mitra yang Tidak Pernah Membiarkan Anda Gagal."


Aksi ini mewujudkan prinsip: Purpose menjadi otentik karena:

Kontekstual: Tujuan ini adalah respons langsung terhadap realitas pasar di mana layanan support biasanya kaku, otomatis, dan berjarak (seperti sistem tiket yang tidak melayani di akhir pekan).

Bernilai Emosional: Karyawan bangga pada keandalan dan sentuhan pribadi mereka, yang menjadi pembeda utama mereka di pasar.


3. Dari Pahlawan ke Tuan Rumah:Ā 

David tidak menjadi "pahlawan" yang membawa solusi ajaib. Sebaliknya, ia bertindak sebagai "tuan rumah" yang memfasilitasi percakapan dan pengakuan. Tindakan Kunci: Di pertemuan umum, ia hanya menceritakan kembali kisah-kisah tadi kepada seluruh perusahaan. Ia lalu menyatakan, "Inilah jati diri kita yang sebenarnya. Tugas saya adalah menyingkirkan segala hambatan yang menghentikan Anda untuk menjadi seperti ini." Aksi ini mewujudkan prinsip:

- Kepemimpinan yang Melayani: Perannya bergeser dari "Chief Executive" menjadi "Chief Storyteller"* dan " Penjaga Nilai".

- Otentisitas: Tujuan itu ditemukan (discovered), bukan diciptakan (created). Hal ini membuatnya langsung diakui dan diadopsi oleh karyawan sebagai milik mereka sendiri, karena memang berasal dari mereka. Prinsip diwujudkan di lapangan melalui sebuah proses bottom-up yang otentik:

Mendengarkan Aktif → Mengidentifikasi Pola → Memantulkan Kembali Realitas → Memberdayakan. David tidak menulis buku pedoman nilai. Ia hanya mengenali, menyebutkan, dan memberdayakan nilai-nilai yang sudah hidup dan dipraktikkan oleh timnya di lapangan, sehingga prinsip itu langsung menjadi pegangan bersama yang bermakna.

________________________________________________________________________________________________________


šŸš€ Perjalanan Anda Dimulai Sekarang: Sebuah Panggilan untuk Berlatih


Memimpin dengan purpose bukanlah seperti memiliki satu daftar (checklist) saja. Ini adalah perjalanan perkembangan, praktik perbaikan terus-menerus dan seumur hidup. Ini adalah upaya menantang untuk menyelaraskan jati diri Anda dengan setiap tindakan yang Anda ambil.


Dunia tidak lagi membutuhkan lebih banyak manajer yang hanya mahir menggerakkan mesin produksi. Dunia merindukan lebih banyak pemimpin yang mampu memupuk pertumbuhan setiap individu di dalamnya. Pemimpin yang cukup berani untuk meninggalkan kenyamanan menjadi "pahlawan" yang memiliki semua jawaban, dan memilih impack yang lebih mendalam dengan menjadi "tuan rumah" yang memberdayakan.


Anda tidak perlu memulai dengan mengubah visi perusahaan. Perjalanan ini dimulai dari satu pertanyaan yang berbeda, yang mampu menggeser sudut pandang sehari-hari.


  • Dari bertanya:Ā "Bagaimana kita bisa mencapai target kuartal ini?"

Tanyakanlah:Ā "Apa kontribusi terpenting yang bisa kita berikan saat ini?"


  • Dari bertanya:Ā "Siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan ini?"

Tanyakanlah:Ā "Pelajaran berharga apa yang dapat kita ambil dari kemunduran ini, dan bagaimana kita tumbuh karenanya"


  • Dari memulai rapat Anda dengan langsung berbicara.

Mulailah dengan bertanya:Ā "Masa depan seperti apa yang berusaha lahir melalui kerja kita?"


Inilah pekerjaan nyata seorang pemimpin. Inilah jalan transformatif yang mengubah sebuah pekerjaan menjadi panggilan hati, dan pencapaian kesuksesan menuju perasaan kebermaknaan yang sesungguhnya.


Leksana TH


bottom of page